KPK Periksa Direktur Pusat Audit BPPT Terkait Kasus Korupsi e-KTP
Agus akan dimintai keterangannya sebagai ahli untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Direktur Pusat Audit Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Agus Nugroho terkait kasus dugaan korupsi e-KTP.
Agus akan dimintai keterangannya sebagai ahli untuk melengkapi berkas penyidikan tersangka Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto.
"Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka S (Sugiharto, red)," ujar Pelaksana harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, Jakarta, Senin (7/12/2015).
Selain memeriksa Agus, penyidik juga menjadwalkan pemeriksaan dua saksi lainnya yakni Dwidharma Priyasta dari unsur PNS BPPT dan Manda Febriandri dari unsur swasta.
Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi mengatakan e-KTP adalah salah satu kasus yang dikebut penyelesaiannya.
Kasus ini masuk dalam daftar 36 kasus yang harus dilimpahkan ke tahap penuntutan sebelum masa pimpinan KPK berakhir Desember 2015.
Sugiharto dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Seperti diketahui, pemenang tender pengadaan E-KTP adalah konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI) yang terdiri atas Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solution dan PT Sandipala Arthaputra yang mengelola dana APBN senilai Rp6 triliun tahun anggaran 2011 dan 2012.
Pembagian tugasnya adalah PT PNRI mencetak blangko E-KTP dan personalisasi, PT Sucofindo melaksanakan tugas dan bimbingan teknis dan pendampingan teknis, PT LEN Industri mengadakan perangkan keras AFIS, PT Quadra Solution bertugas mengadakan perangkat keras dan lunak serta PT Sandipala Arthaputra (SAP) mencetak blanko E-KTP dan personalisasi dari PNRI.
Megaproyek senilai Rp 6 triliun disinyalir mengakibatkan merugikan keuangan negara sebesar Rp1,12 triliun ini.