Jaksa Agung: Riza Chalid Sulit Ditelusuri Keberadaannya
Dia menyebutkan Riza Chalid sulit ditelusuri keberadaannya
Penulis: Valdy Arief
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo meminta jika ada yang mengetahui keberadaan pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid agar memberi tahunya.
"Kalau kalian tahu di mana orangnya (Riza Chalid) kasih tahu saya," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung, Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (8/1/2016).
Dia menyebutkan Riza Chalid sulit ditelusuri keberadaannya karena bisa saja taipan minyak itu berpindah-pindah lokasi.
"Tapi kami akan undang secara patut dan layak," kata Jaksa Agung.
Riza Chalid terlibat dalam pembicaraan dengan mantan Ketua DPR Setya Novanto dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.
Pada penyelidikan kasus ini Kejaksaan Agung menyatakan telah meminta bantuan dari ahli tekonologi informasi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan ahli hukum pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Selain meminta pendapat dari ahli dua perguruan tinggi negeri, pada penyelidikan ini sudah 12 orang yang dimintai keterangannya oleh Kejaksaan Agung. Orang-orang tersebut adalah Maroef Sjamsoedin; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said; Sekretaris Pribadi Setya Nivanto, Medina; Sekjen MPR DPR, Winantuningtyastiti Swasanani; Deputi I Staf Kepresidenan, Darmawan Prasodjo; dan empat orang pegawai Hotel Ritz Carlton Jakarta.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) pada Senin (16/11/2015).
Pelaporan itu dilakukan karena Sudirman mengetahui Setya mencatut nama presiden dan wakil presiden saat bertemu Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin bersama pengusaha Muhammad Riza Chalid dari sebuah rekaman pembicaraan.
Dalam pertemuan tersebut mantan Ketua DPR meminta sejumlah saham PLTA Urumka, Papua yang tengah dibangun PT FI dan berjanji memuluskan negosiasi perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang asal negeri Paman Sam itu.
Kejaksaan melihat ada dugaan permufakatan jahat dalam pembicaraan tersebut yang dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi.