Pemerintah dan DPR Segera Perbaiki Pilkada Serentak Berikutnya
Pengalaman dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2015 memunculkan sejumlah persoalan. Pemerintah dan DPR mulai melakukan evaluasi pilkada berikutnya.
Editor: Y Gustaman
Oleh: Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz
Pengalaman dalam pelaksanaan Pilkada serentak 2015 memunculkan sejumlah persoalan. Pemerintah dan DPR mulai melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada serentak pertama ini.
Di antara hasil pemantauan JPPR yang perlu mendapatkan perhatian serius untuk diperbaiki dalam pelaksanaan Pilkada serentak selanjutnya adalah;
Pertama; Anggaran. Dalam penyusunan anggaran Pilkada, terdapat variasi yang mencolok antara satu daerah dengan daerah lainnya. Naik turunnya anggaran yang disediakan dipengaruhi oleh ketersediaan dana, kepala daerah yang mencalonkan kembali, hubungan antara penyelenggara dengan kepala daerah dan DPRD serta alokasi pembiayaan untuk kampanye. Proses pencairan anggaran juga mengalami kendala alias keterlambatan terutama anggaran untuk pengawas sehingga tidak semua tahapan Pilkada terawasi dengan maksimal.
Jumlah anggaran sangat berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan tahapan Pilkada dan tinggi rendahnya partisipasi. Oleh karena itu, kepastian akan kesiapan dana baik untuk KPU dan Panwas harus dipastikan sejak awal. Kombinasi pembiayaan antara Pusat dan Daerah dapat menjadi solusi atas kendala anggaran Pilkada untuk memastikan ketersediaan dan standar pembiayaan yang memadai. Pemerintah Pusat perlu mempunyai mekanisme antisipatif terhadap kendala pendanaan di daerah Pilkada.
Kedua; Pencalonan. Tidak dapat dipungkiri ketidakserentakan 5 daerah (Provinsi Kalimantan Tengah, Kab. Simalungun, Kota Pematangsiantar, Kab. Fakfak dan Kota Manado) adalah karena proses hukum yang berbelit-belit. Hal ini disebabkan oleh keberadaan lembaga penyelesai sengketa yang lebih dari satu dengan keputusan yang berbeda-beda (Panwas, PTTUN, DKPP dan Mahkamah Agung) serta lamanya waktu keputusan final terhadap status pasangan calon yang pada akhirnya membuyarkan rencana keserentakan Pilkada.
Dalam hal ini, perlu ada perbaikan penyelesaikan sengketa pencalonan mendasarkan kepada; lembaga penyelesaian sengketa harus dibuat sederhana. Dengan tetap ada peluang banding terhadap putusan, lembaga penyelesai sengketa perlu dilakukan secara sederhana dan tidak tumpang tindih antara keputusan satu lembaga dengan lembaga lainnya. Waktu penyelesaian sengketa juga harus dibatasi secara ketat sehingga tidak mengganggu tahapan selanjutnya dan merugikan pasangan calon lainnya, misalnya pada saat masa kampanye dimulai keputusan final terhadap seluruh sengketa pasangan calon telah selesai.
Selain itu, dalam hal pencalonan ini, terdapat jumlah dan komposisi pasangan calon di Pilkada yang relatif terbatas. Sebagian besar jumlah pasangan calon hanya diisi oleh 2-3 pasangan calon di Pilkada serentak pertama ini. Hal ini sebabkan karena proses pencalonan masih mendasarkan pada kepemilikan modal kampanye dan kedekatan dengan elit partai politik. Bahkan proses pencalonan yang elitis, tertutup dan berdasarkan kepemilikan modal kampanye berakibat munculnya pasangan calon tunggal di Blitar, Tasikmalaya dan Timor Tengah Utara.
Oleh karena itu, perlu didorong secara sistemik bagaimana partai politik dapat memunculkan wajah baru dan memberikan kesempatan kepada generasi muda. Bagaimana praktik memborong kursi sebagai syarat pencalonan dapat dikurangi sehingga minimal terdapat 3 pasangan calon dari partai politik disetiap daerah.
Ketiga; perbaikan data pemilih. Sejumlah data pemilih di Pilkada tidak konsisten dari Pemilu ke Pemilu berikutnya. Terdapat data pemilih yang bertambah dan berkurang cukup drastis dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. Validitas data pemilih sangat bergantung kepada sumber data pemerintah dan data mutakhir milik KPU.
Data pemerintah menjadi faktor besar atas ketidakakuratan data Pemilih Pilkada 2015, hal ini disebabkan karena sistem administrasi kependudukan tidak secara cepat mendeteksi kematian dan perpindahan penduduk. Oleh karena itu, perbaikan data kependudukan yang berkelanjutan dan kelengkapan informasi terhadap data setiap penduduk menjadi faktor kunci atas validitas data pemilih kedepan. Ada tanggung jawab yang cukup kuat dari pemerintah untuk mendukung data pemilih yang akurat oleh KPU.
Keempat; pembiayaan kampanye oleh negara. Dalam hal dukungan biaya terutama untuk alat peraga kampanye bagi pasangan calon, nyatanya tidak cukup meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi pemilih. Metode ini justru memberatkan KPU dalam menyediakan alat peraga sehingga memunculkan protes saat lokasi pemasangan dianggap tidak sama dan mengalami kerusakan.
Oleh karena itu, alokasi alat peraga dapat dialihkan kepada pembiayaan kampanye terbatas dan tatap muka. Dengan pemberian tanggung jawab terhadap pelaporan keuangan yang ketat, pembiayaan negara dapat dialokasikan untuk mendukung kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas dan tatap muka. Dukungan terhadap model kampanye ini dapat semakin mendekatkan pasangan calon dengan pemilih dan menciptakan komunikasi langsung tanpa batas dan tanpa perantara seperti yang terjadi dalam alat peraga.
Kelima; Penyusunan visi, misi dan program pasangan calon. Naskah pasangan calon dibuat ala kadarnya padahal dokumen tersebut menjadi kunci perencanaan pembangunan daerah. Sebagian besar naskah visi, misi dan program kurang mencakup seluruh aspek Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah. Penyusunan naskah masih bersifat prosedural dan hanya ditujukan untuk memenuhi syarat pencalonan, tidak didasarkan atas data dan kajian yang mendalam serta keinginan masyarakat setempat.
Oleh karena itu, dalam rangka semakin menciptakan proses Pilkada yang subtansial, perlu terdapat metode verifikasi terhadap naskah visi misi dan program yang diajukan oleh pasangan calon. Yaitu harus memenuhi tiga aspek utama tentang gambaran demografi dan persoalan sosial yang dihadapi daerah, pemenuhan terhadap elemen ekonomi, politik, sarana prasarana dan pemerintahan serta prediksi pencapaian keberhasilan dari program yang direncanakan dengan jangka waktu yang ditentukan.
Perbaikan demi perbaikan pelaksanaan Pilkada serentak memang perlu segera dirumuskan. Peningkatan kualitas Pilkada berawal dari pelaksanaan tahapan yang pasti dan adil.