Komnas HAM: Pemerintah Perlu Antisipasi Serius Terkait Keamanan Eks Gafatar
Komnas HAM) menilai perlu ada antisipasi serius dari pemerintah terkait keamanan pengikut ajaran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Penulis: Valdy Arief
Editor: Gusti Sawabi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Valdy Arief
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai perlu ada antisipasi serius dari pemerintah terkait keamanan pengikut ajaran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Hal itu diperlukan karena semakin tingginya penolakan masyarakat pada pengikut ajaran Gafatar, seperti di Mempawah, Kalimantan Barat.
"Negara, utamanya pemerintah, diminta untuk tetap hadir memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara, pada para (pernah) pengikut organisasi Gafatar," kata Komisioner Komnas HAM, Manager Nasution, dalam keterangan yang diterima Kamis (21/1/2016).
Menurut Manager, bagaimanapun pengikut ajaran Gafatar merupakan warga negara yang harus mendapatkan perlindungan, sesuai konstitusi.
Terkait adanya dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan pengikut, Komnas HAM meminta pemerintah menindak secara kasus per kasus.
Manager menyatakan sejauh ini, Komnas HAM belum melihat adanya dugaan pelanggaran HAM, tapi fenomena ini masih dalam pantauan pihaknya.
"Dalam kasus per kasus, apa yang dilakukan oleh anggota (mantan) Gafatar itu kriminal atau tidak," katanya.
Dia turut menjelaskan seharusnya pemerintah tidak dapat mengintervensi kebebasan kepercayaan. Namun pada kasus Gafatar, ada dugaan penodaan agama dan pelanggaran hukum lain.
"Memang, sejatinya negara tidak boleh intervensi, kecuali jika keberagamaan itu merusak moralitas publik, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa sesuai Pasal 28J ayat 2 UUD 1945 dan Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM," katanya.
Gafatar mulai mendapat sorotan publik setelah dikaitkan sebagai penyebab hilangnya sejumlah orang. Termasuk dokter Rica Tri Handayani dan anak balitanya, Zafran Alif Wicaksono yang hilang dari keluarganya di Yogyakarta, kemudian ditemukan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.