Marak Perdagangan Organ Tubuh, Pemerintah Dinilai Perlu Terbitkan PP
Kasus penjualan organ tubuh ilegal terakhir, berhasil diungkap kepolisian yang dua warga Majalaya Kabupaten Bandung.
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Amelia Anggraini menuding lemahnya penegakan hukum dan pengawasan dari pemerintah menjadi penyebab maraknya sindikat penjualan organ tubuh.
Kasus penjualan organ tubuh ilegal terakhir, berhasil diungkap kepolisian yang dua warga Majalaya Kabupaten Bandung.
Menurut pengamatan Amel, kebutuhan organ tubuh di Indonesia memang cukup besar. Fenomena para resipien yang sulit mencari donor yang sesuai dengan kebutuhannya merupakan momok yang tidak terbantahkan lagi.
Bukan hanya langka, namun donor organ tubuh sangat mahal karena harga untuk satu organ saja bisa mencapai ratusan juta. Sementara, jumlah pendonor jauh lebih sedikit ketimbang kebutuhan organ tubuh.
Akhirnya, penjualan organ tubuh ilegal menjadi ladang bisnis dan cukup marak, bahkan menjadi sindikat yang tersembunyi dan rapi.
“Pemerintah sudah menunjuk beberapa rumah sakit tempat orang untuk mendonorkan organnya. Tapi itu ternyata bisa diakali. Berarti pengawasan pemerintah dan gerak cepat pihak berwenang kurang,” jelas Amelia, legislator dari Dapil Jawa Tengah VII ini di Jakarta, Senin (1/2/2016).
Selain persoalan penegakan hukum dan pengawasan, Amel juga menyoroti problem regulasi yang mengatur kebutuhan donor berikut mekanisme penyalurannya. Problem ini terletak pada belum tersedianya regulasi ini dalam undang-undang. Dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, donor organ tubuh dikenal dengan transplantasi organ yang tidak secara spesifik dijelaskan bentuk penyaluran dan cara yang sah mendapatkan donor. Yang ada hanya larangan mengomersilkan organ tubuh dengan ancaman penjara 15 tahun dan denda maksimal Rp 300 juta.
“Pemerintah tidak boleh menutup mata (pada) fenomena jual beli organ ini. Undang-undang kita tidak dirancang untuk mendapatkan donor dengan mudah. Tidak diatur juga cara sah mendapatkan donor organ,” paparnya.
UU Kesehatan, ungkapnya, harus diturunkan secara spesifik pada ranah mekanisme donor organ tubuh. Setidaknya, bagi Amel, antara pendonor dan resipien, harus dilindungi keamanan dan ketersediaan organ tubuh.
Amel kemudian menilik bagaimana negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Tiongkok. Di negara-negara tersebut sudah ada mekanisme dalam sebuah peraturan yang menjamin tersedianya organ tubuh secara legal. Di Malaysia didirikan National Transplant Resource Center pada 1997 yang secara resmi merupakan lembaga pemerintah di bawah Kementrian Kesehatan. Lembaga ini telah banyak menerima dan mendistribusi organ tubuh berupa ginjal, jantung, hati, paru-paru, pancreas, mata, tulang, kulit dan jantung.
Sementara di Singapura, mekanisme donor organ tubuh ditempuh melalui pendekatan hukum. Setiap warganya diwajibkan menyumbangkan organ tubuhnya jika meninggal. Mereka yang tak bersedia harus membuat pernyataan tertulis. Dengan demikian, jumlah donor organ yang diperlukan menjadi banyak. Di Cina, terdapat bank donor nasional untuk mendukung distribusi organ tubuh bagi mereka yang membutuhkan. Stock bank didapat dari sumbangan masyarakat.
“Apapun bentuknya, Indonesia memerlukan Peraturan Pemerintah yang mengatur kebutuhan organ tubuh yang legal beserta mekanisme yang sahnya. Kalau tidak maka sindikat organ tubuh masih akan merajalela," ujarnya.