Radikalisme Bisa Dicegah Lewat Pendidikan
Radikalisme telah lama disinyalir sebagai salah satu sumbu aksi intoleran yang terjadi di Indonesia.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Radikalisme telah lama disinyalir sebagai salah satu sumbu aksi intoleran yang terjadi di Indonesia.
Di Madura, kelompok Syiah diserang dan diusir dari tempat tinggalnya oleh kelompok yang berseberangan.
Semakin menguatnya fenomena radikalisme dan ekstrimisme beragama dalam berbagai aksi intoleran menjadi perhatian tersendiri yang dikemukakan anggota Fraksi NasDem dari Dapil Banten I Tri Murny kepada Menteri Agama, dalam Rapat Komisi Keagamaan dan Sosial DPR dengan Kementerian Agama, Rabu, 17 Februari 2015.
Try Murny melaporkan sejumlah kasus intoleran seperti ujaran kebencian, pengkafiran, bahkan aksi kekerasan yang dilakukan satu kelompok agama kepada kelompok lainnya.
Tri Murny mengatakan perlu langkah strategis yang dilakukan pemerintah agar masyarakat beragama di Indonesia menjadi semakin toleran terhadap perbedaan.
Untuk itu dia mengusulkan agar program-program pendidikan toleransi yang berbasis keagamaan juga perlu ditekankan dalam setiap level pendidikan formal maupun formal masyarakat.
Pada dasarnya kata Tri, setiap agama tidak ada pretensi untuk mempertajam perbedaan bahkan menyerang yang berbeda.
Praktik beragama yang lebih mengutamakan aspek pendalaman individual dan aplikasi humanis dari kitab suci yang menurutnya perlu dikedepankan dalam pendidikan keagamaan di Indonesia.
Hal ini penting untuk terus menyemai toleransi beragama di Indonesia.
Walaupun laporan survei Kementerian Agama menyatakan bahwa angka toleransi di Indonesia 2015 terjadi kenaikan mencapai 75,36 persen, namun secara nyata aksi intoleran masih terus terjadi.
Di Bogor, umat Kristen Gereja Yasmin, dilarang beribadah dengan alasan tidak ada izin walaupun sudah dimenangkan Mahkamah Agung dan Ombudsman.
Bahkan ada organisasi yang dengan terang-terangan mempropagandakan persekusi atas nama perbedaan keyakinan.
Dia menegaskan upaya penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme beragama yang dilakukan selama ini kurang efektif.
"Masalahnya saya melihat upaya-upaya yang dilakukan masih bersifat reaktif, melakukan penanganan setelah terjadi konflik dan kekerasan. Belum ada upaya-upaya preventif. Sehingga radikalisme dan kekerasan atas nama agama masih saja terjadi," kata Tri.