Kisah Mami Vino Dikucilkan Keluarga Hingga Dirikan Rumah Singgah Kebaya
"Dipukul setiap hari, sudah jadi makanan saya. Keluarga saya tidak menerima saya apa adanya,"
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Vinolia Wakijo memilih menjadi pengajar dan pemberi bimbingan Konseling bagi orang dengan HIV Aids (ODHA).
Padahal sebelumnya Vinolia sempat dipukuli kakak kandungnya, dikucilkan dari keluarga, keluar dari rumah, menjadi waria yang sering mendapatkan kekerasan, dan takut terkena HIV Aids,
Terlahir sebagai laki-laki, tidak memberikan kenyamanan bagi orang yang akrab disapa Mami Vino pada saat dirinya berusia belasan tahun.
Dia mengaku sering dipukuli menggunakan rotan oleh kakaknya karena merasa paling beda dengan anak lainnya.
"Dipukul setiap hari, sudah jadi makanan saya. Keluarga saya tidak menerima saya apa adanya," urainya saat ditemui di Kawasan Kuningan, Jakarta, Minggu (21/2/2016).
Sampai akhirnya Mami Vino tidak kuat menerima perlakuan kasar dari kakaknya.
Pria yang kini mengenakan hijab tersebut, akhirnya memilih keluar dari rumah dan mencari jati dirinya sendiri.
Mami Vino mengatakan secara terpaksa dirinya harus terjerumus dalam lubang hitam dunia malam di Yogya.
Berteman dengan waria lainnya, dia sangat menikmati kehidupan malam di Yogya.
Meski tidak jarang dia harus menerima kekerasan dari pelanggannya.
Namun, untuk tetap mengisi perutnya yang kosong, dia tetap menjalankan kehidupan tersebut hingga puluhan tahun.
Mami Vino sempat sadar bahwa hal itu tidak baik, tapi tidak ada hal lain yang dapat memperbaiki hidupnya.
Pada 1993, saat ada sejumlah berita tentang penyakit HIV Aids merebak di kalangan waria pada saat itu, pria berumur 65 tahun tersebut merasa ketakutan.
Ia khawatir terhadap penyakit tersebut.
"Saya sangat khawatir, kalau kenapa-kenapa hanya dua pilihannya, meninggal atau hidup sengsara pada saat itu," urainya.
Mengetahui penyakit tersebut berbahaya, Vinolia akhirnya berhenti menjadi waria jalanan dan beralih menjadi pendamping Orang Dengan HIV AIDS (ODHA).
Ilmu yang diketahui memang tidak banyak, namun ia tetap yakin bahwa menjadi pendamping merupakan hal baik yang ditempuhnya.
"Saya cuma lulusan SMA, tapi saya sedikit banyak mengerti tentang HIV, jadi saya mempunyai keinginan itu," kata Mami Vino.
Dirinya berpegang teguh bahwa sesuatu hal yang baik, akan menghasilkan yang baik pula.
Dia mencoba mematahkan argumen mengenai pendamping ODHA hanya dapat diberikan orang yang mengidap HIV Aids.
Beruntungnya, dia tidak mengidap penyakit tersebut.
Dengan mendirikan Rumah Singgah Kebaya di Kota Yogyakarta.
Berawal dari tiga ODHA yang tiada lain teman Mama Vino sendiri didampinginya.
Rumah singgah yang dibangunnya semakin lama berkembang hingga suatu ketika mempunyai dampingan 92 orang.\
Dari jumlah tersebut 52 orang diantaranya merupakan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Berbuat Baik
Mami Vino menjelaskan sangat sulit membangun kepercayaan terhadap dirinya dari orang yang mengidap HIV Aids, mereka tidak percaya bahwa Vinolia tidak mempunyai penyakit yang sama.
Namun, perlahan tapi pasti, para ODHA dapat membuka diri dan menerima hal itu.
"Yang penting berbuat baik, orang mau ngomong apa di luar, saya tidak masalah. Mereka belum tentu melakukan apa yang saya lakukan," kata Vino.
Vinolia yang pernah menolak pemberian gelar doctor honoris causa dari universitas ternama di Yogya mengatakan banyak orang yang menilai jelek perilaku hidup waria.
Tidak jarang, dia harus diikuti beberapa orang selama 24 jam penuh untuk melihat hidup dirinya selama menjadi pendamping ODHA.
Jika ada yang dilakukan Vino tidak baik, maka dipastikan akan dihujat banyak orang.
Sebaliknya, dia justru mendapatkan kehormatan untuk menjadi pembicara mengenai HIV Aids di beberapa negara seperti Australia, Kanada, dan negara-negara di Eropa.
"Saya hanya ingin membuktikan kalau saya bisa berguna bagi Yogyakarta meski saya waria," jelasnya.
Vinolia Wakijo menyayangkan kondisi isu LGBT saat ini yang terlalu besar dan seakan menyudutkan dirinya.
Dia juga menyayangkan sikap kelompok LGBT yang menginginkan kebebasan di Indonesia.
Menurutnya, kelompok LGBT seharusnya dapat menerima kondisi mereka di Indonesia dan menyarankan untuk tetap berbuat baik, ketimbang mengharapkan hal yang sangat sulit terjadi.
"Berbuat baik saja. Apapun itu, yang penting jangan sampai kaum LGBT ini dilecehkan lebih jauh lagi," katanya.
Dia juga berharap agar masyarakat tidak mengucilkan dan menutup ruang untuk berteman dengan kelompok LGBT.
Menurutnya hal itu yang akan membuat kaum LGBT melakukan perlawanan.
"Toh kita semua sama di mata Tuhan, dosa atau pahala, biar Tuhan yang urus. Toh yang terpenting ibadah, bukan menilai orang benar atau salah," kata Mami Vino.