Pasha 'Ungu' Tolak Wawancara Jadi Musibah Bagi Masyarakat
"Sebagai pejabat publik, termasuk kepala daerah, wajib untuk tidak menutup diri kepada publik, apalagi wartawan,"
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Informasi Pusat (KIP) mengingatkan kepala daerah tidak boleh menolak untuk diwawancarai wartawan.
Apalagi jika penolakan itu dilakukan secara kasar, hal ini melecehkan profesi wartawan sebagai insan yang memiliki tugas mencari dan menyampaikan informasi kepada publik.
Hal itu dikatakan Ketua KIP Abdulhamid Dipopramono terkait penolakan permintaan wawancara wartawan yang dilakukan Wakil Walikota Palu terpilih, Sigit Purnomo alias Pasha 'Ungu'.
Apalagi cara penolakannya dengan sikap yang melecehkan.
Padahal dua wartawan yang ingin wawancara tersebut berasal dari grup media nasional resmi yang cukup dikenal.
"Sebagai pejabat publik, termasuk kepala daerah, wajib untuk tidak menutup diri kepada publik, apalagi wartawan," kata Abdulhamid melalui pesan singkat, Minggu (21/2/2016).
Menolak memberi informasi dikatakan dia selain termasuk menghalang-halangi kerja jurnalistik sesuai UU Nomor 40/1999 tentang Pers.
Tindakan tersebut pun juga dianggap melanggar prinsip keterbukaan informasi seperti diatur dalam UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Ia menuturkan tujuan keterbukaan informasi publik agar masyarakat mengetahui perencanaan kebijakan publik, pelaksanaan, dan pengawasannya.
Juga ditujukan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan.
Tujuan lainnya adalah untuk menciptakan tatakelola pemerintahan yang baik, menjadikan layanan informasi yang berkualitas, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika pejabat publik dan institusinya tertutup, sudah bisa dipastikan bahwa tujuan tersebut tidak akan tercapai.
"Partisipasi masyarakat akan rendah, masyarakat tidak tahu tentang pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, tatakelola pemerintahan buruk, layanan informasi publik tak berkualitas, dan masyarakat tidak cerdas," katanya.
Abdulhamid memandang bahwa penolakan wawancara oleh Pasha “Ungu” merupakan musibah bagi masyarakat Palu.
Menurutnya, pimpinan baru yang dipilih langsung oleh rakyat ternyata tidak membawa berkah tapi musibah.
"Jangankan wartawan, menurut ketentuan UU KIP masyarakat biasa saja bebas bertanya serta minta informasi dan dokumentasi kepada badan publik, dalam hal ini pemerintah, baik lewat pimpinannya maupun Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)," tuturnya.
Abdulhamid yakin sanksi sosial pasti akan diberikan oleh publik kepada pejabat yang tertutup, baik lewat media massa formal maupun media soasial.
Ketertutupan ini pada gilirannya akan menurunkan kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Pasha “Ungu” sendiri.
Abdulhamid mengimbau Mendagri Tjahjo Kumolo untuk turun tangan kasus Palu ini agar tingkat kepercayaan publik kepada Pasha “Ungu” sebagai wakil walikota tidak merosot.
Sebab jika merosot bisa dipastikan program pembangunan sulit berjalan.
"Jika tidak ada tindakan dari Mendagri atau permintaan maaf dari Pasha “Ungu” maka bully akan terus dilancarkan oleh publik maupun media massa dan akan menjadi bola salju, makin lama makin besar," katanya.
Abdulhamid mengatakan UU Nomor 23/2014 tentang Pemda memberi kewenangan pemerintah pusat untuk memberikan hukuman kepada kepala daerah.
Dalam Pasal 67 (b) disebutkan bahwa kepala daerah harus menjalankan peraturan perundangan, dalam hal ini UU Pers dan UU KIP.
"Jika kepala daerah tidak melaksanakannya, maka pemerintah pusat bisa memberhentikannya, seperti tercantum dalam Pasal 78 (d) UU Pemda," ucapnya.