Jadi Saksi di Sidang Nazaruddin, Yulianis Sebut Nama-nama yang Kecipratan Fee Proyek
Bekas anak buah Nazar itu mengungkap adanya aliran uang dari perusahaan yang dipimpinnya kepada anggota DPR RI sampai mantan menteri.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kembali melanjutkan sidang dugaan pencucian uang dan penerimaan hadiah pembangunan Wisma Atlet SEA Games 2011 Jakabaring, Palembang, dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin.
Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan saksi ini, jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menghadirkan beberapa saksi, diantaranya mantan Wakil Direktur Keuangan Permai Grup, Yulianis.
Bekas anak buah Nazar itu mengungkap adanya aliran uang dari perusahaan yang dipimpinnya kepada anggota DPR RI sampai mantan menteri.
"(Penerima fee) ada Pak Said Komisi Agama, Tamsil Linrung. Freddy Numberi, Muhiddin, Yoseph," kata Yulianis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (24/2/2016).
Nama-nama yang dimaksud ialah Tamsil Linrung yang kini menjabat Wakil Ketua Komisi VII hingga ke mantan Menteri Perhubungan Freddy Numberi.
Menurut Yulianis, fee untuk mereka berdua diberikan atas sejumlah proyek yang dimenangkan Permai Group di DPR.
Tak hanya mereka yang menikmati uang haram dari Nazaruddin. Ada nama lainnya, yakni Muhidin Mohamad Said dan Yoseph Umar Hadi yang saat itu berada di Komisi V DPR serta Said Abdullah, Anggota Komisi VIII ketika itu.
"Harus (izin Nazaruddin). Orang marketing harus mengajukan berapa yang diajukan ke Anggota DPR. Jadi orang marketing mengajukan Rp5 miliar, tapi bisa dikoreksi jadi Rp2 miliar," katanya.
Dijelaskan Yulianis, fee yang diberikan kepada mereka, demi mengawal perusahaan milik Nazaruddin hingga memenangkan proyek yang ada di masing-masing komisi itu.
"(Uang itu) untuk dapat anggaran proyek. Kalau untuk panitia supaya proyek jalannya smooth. Supaya jalannya baik dan gak diganggu. Bisa juga begitu (agar dimenangkan)," katanya.
Diberitakan sebelumnya, mantan Bendahara Partai Demokrat dinilai telah melakukan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan memperkaya diri sendiri.
Sehingga merupakan beberapa kejahatan selaku pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR periode 2009-2014.
Jaksa Kresno Anto Wibowo saat membacakan dakwaan menyebutkan, Nazaruddin diduga menerima uang sebesar Rp23.199.278.000 atau setidak-tidaknya sejumlah itu dari PT Duta Graha Indah (PT DGI) yang diserahkan oleh Mohammad El Idris.
Dia juga didakwa menerima uang tunai sebesar Rp17.250.750.744,00 atau setidak-tidaknya sejumlah itu dari PT Nindya Karya yang diserahkan melalui Heru Sulaksono.
"Padahal diketahui, atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentang dengan kewajibannya," kata Jaksa Kresno di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (10/12/2015).
Menurutnya, uang dengan total Rp 40 miliar lebih tersebut diduga sebagai imbalan atau fee, karena terdakwa dianggap telah mengupayakan PT DGI dalam mendapatkan proyek pemerintah tahun 2010. Yaitu proyek pembangunan Gedung di Universitas Udayana, Universitas Mataram, Universitas Jambi, Badan Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP21P) Surabaya tahap 3, Rumah Sakit Adam Malik Medan, Paviliun RS Adam Malik, RS Inspeksi Tropis Surabaya, RSUD Ponorogo.
Serta imbalan lantaran terdakwa dianggap telah mengupayakan PT Nindya Karya dalam mendapatkan proyek pembangunan Ratting School Aceh serta Universitas Brawijaya tahun 2010.
"Padahal terdakwa selaku anggota DPR RI dalam tugasnya tidak boleh melakukan pengaturan proyek-proyek pemerintah dengan maksud mendapatkan imbalan dari pihak lain," kata Jaksa Kresno.
Jaksa menilai perbuatan Nazaruddin tersebut dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 angka 4 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Kemudian Pasal 208 Ayat (3) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta keputusan DPR RI Nomor:01/DPR RI/I/2009-2010 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI.
Atas perbuatannya, Nazaruddin diancam melanggar Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 65 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.