Materi Keterbukaan Informasi Harus Masuk RUU Pilkada
Ketua Komisi Informasi Pusat Abdulhamid Dipopramono meminta materi keterbukaan informasi publik harus dimasukkan ke dalam revisi UU Pilkada.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.COM, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Abdulhamid Dipopramono meminta materi keterbukaan informasi publik harus dimasukkan ke dalam revisi UU Pilkada.
Materi keterbukaan informasi publik harus dimasukkan sebelum draf diserahkan kepada DPR agar DPR ada bahan untuk dibahas dan tidak melupakan aspek keterbukaan informasi publik yang perannya sangat penting dalam demokrasi yang berkualitas.
Menurut Abdulhamid, materi keterbukaan informasi yang penting dimasukkan ke dalam RUU antara lain soal syarat calon kepala daerah yang wajib membuka ke publik seluruh data pribadinya, seperti kekayaan dan status hukum yang disandangnya, apakah sedang menjadi tersangka, terpidana, dan mantan terpidana atau tidak.
"Informasi publik lain yang harus dibuka adalah riwayat pendidikan dan kesehatan yang bisa mempengaruhi saat mereka menjalankan tugas setelah terpilih," kata Abdulhamid melalui pesan singkat, Jumat (26/2/2016).
Meskipun dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disebutkan bahwa informasi pribadi yang terdiri riwayat pendidikan, kapasitas dan kapabilitas intelektual, kesehatan fisik dan psikis, maupun kondisi keuangan dan aset seseorang merupakan informasi rahasia.
Tetapi jika berhubungan dengan posisi dalam jabatan publik maka hal itu bukan merupakan informasi rahasia, dan diatur dalam Pasal 18.
Para calon kepala daerah mereka yang terkait dengan posisi jabatan publik.
Oleh karenanya, untuk memberikan obyektivitas kepada publik dalam memilih pimpinan mereka, maka informasi tersebut harus dibuka sejak dari proses pendaftaran sebagai calon kepala daerah.
Hal ini dimaksudkan agar publik tidak memilih kucing dalam karung dan kemudian di belakang hari dihadapkan pada kenyataan bahwa pimpinan yang mereka pilih ternyata berstatus tersangka, mantan terpidana, korup, dan memiliki kondisi kesehatan yang mengkhawatirkan setelah menjabat.
Jika kepala daerah terpilih memiliki status demikian, kata Abdulhamid, maka kepemimpinan mereka tidak akan efektif dikarenakan akan selalu dimasalahkan orang.
Apalagi jika statusnya sedang menjadi tersangka maka hari-harinya akan disibukkan dengan urusan hukum pribadinya dan tidak penuh untuk memimpin daerahnya.
"Jika mereka mantan terpidana pun berpotensi menjadi bulan-bulanan publik. Hal-hal tersebut pada gilirannya akan memerosotkan kepercayaan publik (trust) kepada mereka dan kemudian kepemimpinan menjadi tak efektif," ungkapnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.