Uber dan Grabcar Harus Berbadan Hukum
“Aplikasi online itu hanya bisa bermain di penyediaan layanan dan juga marketingnya saja, gak bisa masuk ke ranah penyedia operasional angkutan umum.
Penulis: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi demonstrasi para pengemudi taksi konvensional mengarah pada tindak kekerasan dan rusuh.
Aksi sweeping dan vandalisme terjadi di beberapa titik di Ibu kota Jakarta.
Kemacetan pun menjalar kemana-mana.
Pada saat bersamaan juga bahkan terjadi aksi lempar batu antara ojek online dan supir taksi konvensional.
“Demo boleh tapi jangan juga mengabaikan keselamatan para pengguna jalan lainnya. Saya berharap aparat untuk bertindak cepat untuk bisa mengembalikan situasi,” ungkap anggota Komisi V DPR Soehartono, Selasa (22/3/2016) dalam siaran pers yang diterima wartawan.
Kondisi ini menurutnya sangat mengerikan karena bukan hanya taksi online yang menjadi sasaran tapi juga terhadap taksi yang sedang beroperasi.
Aksi pengrusakan sesama pengemudi taksi ini menurutnya tidak bisa dibiarkan.
Disamping itu, demo yang anarkis ini juga menimbulkan kemacetan dan menganggu mobilitas warga Jakarta.
“Aksi kekerasan sampai kapanpun tidak dibenarkan, akibatnya kan juga yang dirugikan dari demo ini adalah masyarakat yang mau kerja," ujarnya.
Menyangkut taksi online, Soehartono menilai bahwa hal tersebut kehendak zaman yang tidak bisa dibendung.
Hanya saja tugasnya para penyedia layanan harus segera diatur supaya tidak seperti sekarang yang dianggapnya kebablasan.
“Aplikasi online itu hanya bisa bermain di penyediaan layanan dan juga marketingnya saja, gak bisa masuk ke ranah penyedia operasional angkutan umum. Undang-undang mengamanatkan itu,” tuturnya.
Ia mengisyaratkan para pengemudi Uber dan Grabcar untuk membentuk badan hukum resmi.
Hal ini akan menghindari kerusuhan dan polemik yang berkepanjangan tentang taksi online.
“Sudah bikin saja badan hukum, gitu aja kok repot. Nanti payung hukumnya ikut UU No. 22 Tahun 2009,” katanya.