Komisi Informasi Minta MUI Buka Laporan Keuangan ke Publik
Menurut UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), MUI adalah badan publik.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Abdulhamid Dipopramono meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuka laporan keuangannya ke publik. Pasalnya, MUI mendapatkan dana dari pemerintah dan masyarakat.
"Dana dari pemerintah tidak saja didapat langsung dari APBN tapi juga program-program dari beberapa kementerian. Sedangkan dana masyarakat didapatkannya dari biaya sertifikasi halal yang kini merambah bukan saja untuk produk makanan, minuman, dan kosmetika, tetapi juga semua barang dan jasa," kata Abdulhamid melalui pesan singkat, Senin (28/3/2016).
Menurut UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), kata Abdulhamid, MUI adalah badan publik.
Yang dimaksud sebagai badan publik bukan hanya lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tapi juga badan lain atau organisasi nonpemerintah lainnya yang sebagaian atau seluruh dananya bersumber dari APBN, APBD, sumbangan masyarakat atau luar negeri.
"Jika ia badan publik maka harus patuh pada ketentuan UU KIP, yang antara lain wajib menginformasikan program-program dan laporan keuangannya ke publik, serta mengelola lembaga dengan tatakelola yang baik yaitu transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan," katanya.
Abdulhamid mengatakan badan publik juga tidak boleh menunggu diminta informasinya tapi harus proaktif mengumumkannya ke masyarakat.
Sejauh ini, kata Abdulhamid, pihaknya menilai MUI tidak pernah mengumumkan program-program dan laporan keuangannya secara periodik ke masyarakat.
Kondisi keuangan MUI, baik uang masuk dan keluarnya, tidak pernah diketahui publi. Sehingga, lanjutnya, wajar jika akhir-akhir ini sangat ramai dipertanyakan masyarakat ketika MUI akan merambah sertifikasi dalam bidang yang lebih luas.
'Di website MUI hal itu juga tidak ditemukan Keterbukaan informasi dari MUI semakin penting karena sudah menyatakan ingin menyertifikasi semua sektor kehidupan manusia, tidak saja makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan, tetapi juga barang dan jasa termasuk pakaian dan sepatu," imbuhnya.
Sedangkan untuk melakukan sertifikasi, kata Abdulhamid, MUI selama ini memungut dana dari produsen barang dan restoran sebagai obyek. Jika makin banyak obyek yang disertifikasi maka akan semakin banyak pula uang masuk ke MUI.
"Uang yang masuk tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Sebab biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang disertifikasi pada akhirnya akan dibebankan kepada masyarakat sebagai konsumen," tuturnya.
Ia meminta masyarakat harus mulai kritis dan berani mempertanyakan keuangan lembaga-lembaga nonpemerintah seperti MUI dan lainnya.
Selama ini yang dianggap badan publik hanya pemerintah yang terdiri eksekutif, legislatif, dan yudikatif saja, padahal banyak uang mengalir ke lembaga nonpemerintah baik lewat APBN, APBD, dana masyarakat, atau luar negeri.
"Masyarakat harus berani meminta informasi ke mereka dan jika tidak dilayani dengan baik bisa mengadukannya ke KIP untuk disidang," imbuhnya.