Nasionalisme Era Digital
Teknologi tak dapat dibendung. Informasi tak dapat dikurung.
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Teknologi tak dapat dibendung. Informasi tak dapat dikurung.
Contoh kisruh yang terjadi pekan lalu, antara Taksi Konvensional versus Taksi berbasis aplikasi seperti Uber dan Grab.
Tahun - tahun ke depan, peradaban manusia akan menghadapi hal - hal yang serupa dan bahkan bisa jadi lebih dahsyat.
Karena teknologi berevolusi, berubah secara cepat, dan seringkali tidak dalam batas kesadaran penggunanya dan bahkan pemimpin di sebuah pemerintahannya.
Kisruh Taksi Konvensional versus Aplikasi yang juga terjadi di negara - negara maju, menunjukkan hal ini, nyata.
Ada sebuah skenario, MATA AIR namanya. Skenario MATA AIR di keluarkan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Indonesia pada 2045 akan didominasi oleh generasi berpendidikan tinggi, menguasai teknologi komunikasi, aktif bermedia sosial dan terpapar nilai-nilai global.
Generasi ini disebut dengan generasi milenial. Generasi yang lahir pada rentan waktu 1980-an hingga 1990-an yang tumbuh dengan keleluasaan informasi.
Generasi ini sadar gaya hidup sekaligus peduli dengan sesama dimana mereka akan memempati berbagai posisi penting di bidang politik, birokrasi, bisnis dan oraganisasi kemasyarakatan. Karena kesadaran akan gaya hidup tersebut, maka generasi ini sangat tidak lekat dengan teknologi gadget dan media sosial.
Dalam berpolitik, generasi ini mencatat banyak peran dalam berbagai kisah dunia. Di dalam negeri misalnya, ramainya tokoh muda dan berprestasi dalam pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2015 menjadi contoh lain dari munculnya generasi milenial.
Figur tersebut seolah menjadi magnet baru bagi para pemilih dan alternatif demi kepemimpinan daerah yang lebih baik kedepannya. Contoh lainnya, langkah para relawan masing-masing kandidat Gubernur DKI Jakarta dalam mengumpulkan dukungan untuk calon, juga menjadi formulasi dari generasi milenial.
Generasi baru ini juga mempunyai pandangan berbeda dengan pendahulunya. Kritik akan menjadi marwah dalam kehidupan individunya. Apabila penyelengara kekuasaan tidak adil, maka mereka tidak akan segan untuk menggunakan media dan organisasi massa untuk menekannya.
Namun, generasi ini rentan akan hilangnya cara ber-Nasionalisme sebagaimana yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Rasa hormat dan bangga serta keinginan untuk meneladani pahlawan pendahulu bangsa tidak lagi menjadi motivasi generasi muda dalam menghadapi perkembangan zaman.
Data nyata kami himpun, dalam jajak pendapat harian Kompas (28/10/2013) menunujukkan pengamalan Pancasila sebagai ideologi Negara, sebanyak 73,6% responden memandang pemuda tidak ikut ambil bagian dalam mewujudkan nilai Pancasila.Tak sampai disitu, jajak pendapat juga mengatakan bahwa hanya 9,4% responden yang dapat menyebutkan isi Sumpah Pemuda dengan benar. Pertanyaanya kemudian, benarkah Indonesia kedepannya akan dipenuhi oleh generasi yang tidak lagi memiliki rasa Nasionalisme nya? Mungkinkah identitas sebagai bangsa Indonesia yang berideologi Pancasila bisa tergerus dengan peradaban jaman?
Saksikan selengkapnya dalam dialog di program SATU MEJA bersama pemimpin redaksi Harian Kompas, Budiman Tanuredjo, Rabu 23 Maret 2016 pukul 22:00 WIB, live di Kompas TV.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.