Kenali Aksi Cyber Troops di Dunia Maya
Penggiringan opini itu dilakukan dengan cara menyerbu dunia maya, dengan opini-opini yang menguntungkan sang majikan.
Editor: Wahid Nurdin
Laporan Wartawan TRIBUNnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengerahan pasukan dunia maya atau cyber troops, adalah salah satu strategi yang oleh sejumlah pihak dianggap efektif untuk menggiring opini masyarakat.
Penggiringan opini itu dilakukan dengan cara menyerbu dunia maya, dengan opini-opini yang menguntungkan sang majikan.
Strategi itu juga diduga akan ditemukan pada perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta kali ini.
Kordinator Jokowi Ahok Social Media Volunteers (JASMEV), Kartika Djoemadi, yang pada pilkada 2012 lalu sukses mengawal pasangan Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama, menyebut aksi pasukan cyber itu bisa dikenali.
"Biasanya bahasanya berulang, dengan akun-akun yang anonim atau psuedonim," ujarnya kepada wartawan, di Veteran Coffee and Resto, Gambir, Jakarta Puaat, Rabu (30/3/2016).
Akun anonim adalah akun "sampingan" milik seseorang baik yang terdapat di media sosial (medsos), maupun situs lainnya yang memungkinkan sang pemilik menyusupkan opini. Pada kolom profile, sang pemilik akan menyamarkan identitas aslinya.
Sedangkan akun psuedonim adalah akun yang kurang lebih sama, namun pada kolom profile sang pemilik akan mengisinya dengan data-data yang sama sekali bertentangan dengan pemiliknya.
"Kalau anonim, misal nama dia Joni, jadinya J aja. Kalau psuedonim namanya diganti jadi Bambang," jelasnya.
Akun "sampingan" atau yang juga akrab disebut sebagai "klonengan" di sejumlah forum itu, berguna agar si pemilik dapat menyusupkan opini beberapa kali di laman situs yang sama, dengan akun berbeda.
Pelaku berharap masyarakat melihat opini tersebut, sebagai opini yang dilontarkan oleh orang yang berbeda.
Kartika mencontohkan, di media berbasis daring, terdapat kolom komentar di setiap berita yang disajikan. Kolom tersebut adalah salah satu sasaran pasukan cyber, untuk dibanjiri dengan komentar.
"Mereka biasanya seragam (pernyataannya), dan berulang-ulang," terangnya.
Strategi tersebut menurut Kartika pernah terendus, dalam sejumlah pemberitaan mengenai ketua umum salah satu organisasi olah raga, yang tengah dirudung masalah. Ia menduga sang ketua umum memanfaatkan pasukan cyber, untuk menjaga citranya.
Untuk urusan pilkada, pasukan cyber juga bisa dimanfaatkan untuk menjatuhkan elektabikitas salah seorang kandidat, melalui kampanye hitam atau black campaign.
Kata dia bila aksi tersebut terendus, justru dampaknya akan negatif. Karena pemilih di Jakarta yang mayoritasnya adalah pemilih rasional, sangat menghargai orisinalitas.
"Seharusnya biar saja masyarakat komentar apa adanya, jangan memobilisasi komentar-komentar itu," ujarnya.(*)