Ini Upaya Pemerintah Sejahterakan Petani Jagung
Perbaikan produktivitas dan manajemen distribusi produksi adalah dua hal yang harus menjadi fokus pemerintah saat ini.
Penulis: Yulis Sulistyawan
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perbaikan produktivitas dan manajemen distribusi produksi adalah dua hal yang harus menjadi fokus pemerintah saat ini.
Hal tersebut mengemuka pada Fokus Group Disscussion (FGD) “Upaya Mensejahterkan Petani Jagung” yang diprakarsai Biro Humas dan Informasi Publik, Kementan, pada 11 April 2016.
Secara nasional, pada 2015 produksi jagung total adalah 19,83 juta ton dan diprediksi akan naik menjadi 21,53 juta ton pada 2016.
Dengan konsumsi industri pakan nasional rata rata 0,7 juta ton per bulan dan konsumsi langsung berkisar 15 juta ton, maka diperkirakan produksi jagung nasional akan bisa memenuhi kebutuhan nasional.
Pada 2016, Kementan telah menargetkan produksi nasional 24 juta ton dan kebutuhan jagung pada industri pakan harus dapat dipenuhi 100 persen dari jagung lokal, dan menekan impor jagung untuk semua keperluan tidak lebih dari 1 juta.
Pada sisi produksi, permasalahan yang dihadapi pada perjagungan nasional adalah produktivitas rata rata nasional yang belum bisa menembus 6 ton per hektare, kurang efisiennya biaya produksi, inkontinuitas produksi, dan lokasi produksi yang tidak dekat lokasi pasar khususnya lokasi industri pakan.
Lokasi sentra produksi yang tidak dekat dengan lokasi industri pakan, mengakibatkan tingginya biaya distribusi yang berpengaruh pada harga jagung di konsumen.
Sebagai akibat itu semua, jagung nasional kurang mampu bersaing dengan jagung impor, dan 50 persen kebutuhan jagung pada industri pakan mengandalkan impor.
Pada sisi pasca panen dan pasar, permasalahan yang muncul adalah terbatasnya sarana penanganan pasca panen, engering dan silo, yang tentu berakibat pada rendahnya kualitas jagung pipilan yang belum bisa memenuhi standar kebutuhan industri pakan dan makanan, khususnya aflatoksin.
Pasar masih terkendala dengan panjangnya rantainpasokndari produsen ke konsumen dan keinginan industri pakan untuk menyerap jagung lokal.
Menyadari permasalahan tersebut Kementan sejak awal tahun 2016 telah meluncurkan berbagai upaya baik pada sisi produksi maupun penanganan pasca panen dan pasar.
Sejak awal 2016, berbagai langkah yang diambil oleh Kementan untuk mengatasi permasalahan ini.
Diantaranya adalah mendorong penggunaan benih jagung hibrida yang telah dibuktikan mampu meningkatkan provitas mencapai 7-8 ton per hektare.
Untuk meningkatkan efisiensi produksi, Kementan telah meluncurkan bantuan alat dan mesin mesin pertanian, baik alat tanam maupun panen (corn picker).
Melalui pemanfaatan alsintan tersebut, biaya produksi dapat ditekan hingga 20-30 persen dibanding manual.
Pada sisi pasca panen dan pasar, berbagai uapaya penanganan pasca panen, termasuk fasilitasi pemipil, pengering dan silo pada tingkat Gapoktan telah direncanakan. Basis penanganan pasca panen pada tingkat Gapoktan perlu diencanakan dengan baik terkait manajemen dan kapasitas tampungnya.
Untuk penanganan pasar difokuskan pada upaya meningkatkan serapan jagung pipilan pada industri pakan, dengan target 100 persen kebutuhan industri pakan harus dapat dipasok oleh jagung lokal.
Pada tahap ini langkah yang paling tepat untuk diterapkankan adalah mendorong contract farming antara Gapoktan dan industri pakan.
Pada contract farming ini, tidak terbatas pada pembelian jagung oleh industri pakan dengan harga yang wajar, tetapi juga pembinaan produksi dan pasca panen oleh industri agar dihasilkan jagung pipilan yang memenuhi standar kebutuhan pakan.
Hal ini sangat mungkin dilakukan, karena kontrak anatar industri pakan dan peternak samapi saat ini mencapai 80 persen, sedangkan kontrak industri pakan dengan petani jagung baru 1,3 persen (Indef, 2016).
Melalui contract farming ini, diharapkan rantai pasok distribusi dari petani ke konsumen dapat dipangkas dan harga dapat ditetapkan secara wajar sebagai upaya untuk mensejahteakan petani jagung, yang saat ini berkisar Rp 3.150 per kg jagung pipilan.(IKLAN)