Masukan Agar Tax Amnesty Tak Impoten
Rasio pajak sebesar 10% per tahun dan 14% dari hasil usaha Dirjen Pajak diharap bisa meningkat tajam ketika Undang-Undang Tax Amnesty diberlakukan.
Penulis: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Tax amnesty diharapkan menjadi solusi bagi pemasukan negara dalam rangka meningkatkan pembangunan dalam negeri.
Rasio pajak sebesar 10% per tahun dan 14% dari hasil usaha Dirjen Pajak diharap bisa meningkat tajam ketika Undang-Undang Tax Amnesty diberlakukan.
Namun demikian, regulasi lintas sektor harus kuat dan mampu mengakomodir segala persoalan pajak ke depan, mengingat urusan pajak ini berjejalin dengan undang-undang lain.
Beberapa di antaranya adalah UU Bank Indonesia, UU Lalu Lintas Devisa, UU OJK yang secara keseluruhan menuntut diberlakukannya reformasi pajak, di mana Tax Amnesty ini bisa menjadi instrument pelaksanaannya.
Terkait hal ini, anggota Komisi XI DPR Johnny G. Plate menyampaikan pandangannya terhadap rumusan regulasi yang tengah digodok itu.
“Dan kami khawatir, kalaupun UU ini (Tax Amnesty, red) disetujui, nanti bisa menjadi UU yang lemah gemulai, impoten. Jangankan mengeluarkan, memasukkan pun nggak bisa! Jangan berharap ada dana yang masuk kalau peraturannya lemah,” ungkap Johhny pada Rapat Dengar Pendapat dengan BI, OJK, dan BPKM di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (25/4/2016).
Dalam hemat Johnny, UU Tax Amnesty hanya akan efektif bila memperhitungkan tiga tujuan utama dalam mengoptimalkan sektor pajak, demi seutuhnya kepentingan rakyat. Pertama, oportuniti yang diperoleh pemerintah pada 2016 pasca pengesahan UU Tax Amnesty.
Kedua, kesiapan semua instrumen perpajakan dalam negeri. Dalam hal ini ia merujuk pada besaran peta pajak yang dinilainya masih terlalu tinggi. Ketiga, pola pemerintah dalam memperoleh ekstensifikasi pajak tersebut.
Selain mengurai tentang manfaatnya, politisi NasDem dari Nusa Tenggara Timur ini juga menyinggung kesiapan pemerintah terhadap dampak sistemik yang ditimbulkan.
Likuiditas yang akan melonjak drastis perlu dipertimbangkan menimbang efeknya secara menyeluruh terhadap perekonomian makro dan mikro dalam negeri. Sebagai catatan, tingkat likuiditas tinggi itu tak selalu berdampak positif, tapi juga bisa berakibat negatif.
“Dalam rangka mencegah dampak negatif akibat peningkatan likuiditas yang besar dan cepat, perlu diambil langkah-langkah terbaik. Khusus OJK misalnya, apa yang harus disiapkan dalam kaitan industri dengan stabilitas mikronya, apa bila UU ini diberlakukan?,” ujar Johnny.
Begitu pula dengan BKPM, Johnny mengimbau agar uang hasil repatriasi bisa terserap pada produk-produk investasi yang menarik. Dengan begitu, uang yang menurut perhitungan BI akan terkumpul sebesar 500-1.000 triliun dalam jangka enam bulan hingga setahun itu akan memutar roda perekonomian dengan sangat kencang.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.