Mantan Dirjen Perhubungan Laut Bobby Mamahit Didakwa Rugikan Negara Rp 40,1 Miliar
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggelar sidang pembacaan dakwaan Bobby mamahit
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menggelar sidang pembacaan dakwaan mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Bobby Reynold Mamahit, Senin (9/5/2016).
Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) mendakwa Bobby terlibat dalam kasus korupsi proyek pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) di Sorong, Papua. Akibatnya negara merugi sebesar Rp 40,1 miliar.
"Didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi," ujar jaksa Kresno Anto Wibowo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Bobby disebut mengintervensi kuasa pengguna anggaran dan ketua panitia pengadaan agar memenangkan PT Hutama Karya (HK) dalam lelang proyek pembangunan BP2IP di Sorong Tahap III pada Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Laut (PPSDML).
Proyek itu menggunakan anggaran yang berasal dari APBN 2011.
"Setelah terjadi pembicaraan dengan pejabat PT Hutama Karya, Bobby memerintahkan Kepala PPSDML Djoko Pramono, yang juga kuasa pengguna anggaran untuk memenangkan PT Hutama Karya dalam proses lelang," kata jaksa Kresno.
Setelah melewati proses lelang dan penandatanganan kontrak, Bobby lantas meminta sejumlah uang kepada Senior Manajer Pemasaran PT HK, Basuki Muchlis, karena perusahaan itu telah dimenangkan dalam proses lelang.
Selanjutnya, pada 20 Oktober 2011, Bobby menerima uang sebesar 20 ribu dolar AS di Kantor BPSDM Kemenhub, Jakarta Pusat.
Tak hanya itu, dalam pertemuan dengan General Manajer Divisi Gedung PT HK Budi Rachmat Kurniawan, pada 18 November 2011, di Hot Planet, Sarinah, Jakarta, Bobby didakwa menerima lagi uang Rp 200 juta dalam pecahan dolar AS.
Selanjutnya, pada 23 Desember 2011, Bobby kembali menerima uang dalam pecahan dolar AS yang nilainya sama dengan Rp 100 juta.
"Uang pembayaran kontrak kerja tersebut juga dipergunakan untuk mengganti biaya arranger fee, termasuk kepada terdakwa, dan pihak-pihak terkait yang memenangkan PT Hutama Karya," kata jaksa.
Atas perbuatannya, Bobby didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.