Mundur Kalau Kita Kembali ke Sistem Pemilihan Proporsional Tertutup
Hanya dengan itu partai politik akan mendapat simpati warga.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Niat pemerintah mengganti sistem Pemilu Proporsional Terbuka menjadi Sistem Proporsional Tertutup dalam revisi Undang-Undang Pemilu Legislatif untuk Pileg 2019 harus dikaji ulang.
Peneliti Sinaksak Centre Osbin Samosir mengingatkan, kehadiran sistem proporsional terbuka adalah kritik atas sikap otoritarianisme partai politik di masa lalu yang tidak melaksanakan fungsi agregasi kepentingan masyarakat.
Padahal substansi terpokok demokrasi adalah memberikan.
"Kewenangan seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat untuk menentukan siapa pemimpinnya," ujar peneliti Pemilu ini kepada Tribun, Senin (23/5/2016).
Menurut Osbin Samosir, buah terbaik demokrasi Indonesia pasca Reformasi sejak 1998 adalah pemberian kewenangan kepada masyarakat luas untuk memilih secara langsung Presiden, anggota Legislatif, Gubernur dan Bupati Walikota, yang selama masa Orde Baru sesuatu yang mustahil.
Karena itu, imbuhnya, Indonesia menjadi contoh demokrasi di dunia justru karena keberanian menjalankan pemilu langsung dan sistem pemilu proporsional terbuka untuk pileg.
"Kehadiran Partai politik dalam tata demokrasi hanyalah sebagai sarana untuk memastikan bahwa demokrasi tersebut berjalan sesuai kaidah negara modern," kata anggota Forum Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia tersebut.
Lanjut Osbin, selama sebelum Era Reformasi, partai-partai politik sibuk menikmati otoritarianisme kekuasannya dengan mengebiri hak dan kewenangan politik masyarakat luas.
Maka dia jelaskan, lahir ide menuju sistem proporsional terbuka yang dimulai sejak awal Reformasi Pasca Pemilu 1999.
Pada Pileg 2004, semi proporsional terbuka mulai dipraktekkan yang mana kewenangan partai dibatasi dengan mengakomodir perolehaan suara caleg yang memenuhi Angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) sesuai dapil masing masing walaupun caleg yang bersangkutan berada di nomor urut rendah.
Pemilihan Presiden secara langsung malah sudah dipraktekkan pada Pilpres 2004.
Dalam Pileg 2009 dan 2014, pelaksanaan proporsional terbuka secara murni dilakukan yakni hanya caleg yang mendapat peroehan suara signifikan yang terpilih tanpa memperhatikan nomor urut caleg.
"Ketika partai politik dan pemerintah masih berpikiran untuk kembali menggunakan sistem proporsional tertutup berarti kita kembali ke peluang bangkitnya otoritarianisme partai politik," kritiknya.
Mestinya, sambungnya, Partai politik harus bekerja bagaimana meyakinkan publik dengan melaksanakan fungsi utamanya sebagai agregasi kepentingan masyarakat luas, bukan malah sibuk memperkuat kekuasannya.
Osbin menegaskan, agregasi kepentingan itu salah satunya menghadirkan calon calon hebat yang hari-hari hidupnya diwakafkan untuk mencari solusi atas persoalan riil sehari hari warga.
Hanya dengan itu partai politik akan mendapat simpati warga.
Saat ini, masyarakat masih menilai partai politik cederung gagal menghadirkan calon calon unggul dalam kaderisasinya, sehingga muncullah kader kader non partai di tingkat lokal dan nasiona yg terpilih dalam Pilkada.
"Karena demokrasi kita sudah masuk ke rel yang benar dan masih belum matang, maka sebaiknya proses demokrasi kita yang masih muda ini jangan dulu diganggu dengan isu sistem pemilu proporsional tertutup, sembari partai terus menerus menata dirinya," ujar dosen Ilmu Politik Fisipol Universitas Kristen Indonesia ini.