Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Hukuman Kebiri, Pasang Chip hingga Hukuman Mati bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak

Presiden Joko Widodo akhirnya meneken Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak sebagai perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002.

Penulis: Imanuel Nicolas Manafe
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Hukuman Kebiri, Pasang Chip hingga Hukuman Mati bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Aktivis dari berbagai elemen menggelar aksi Panggung Rabu #SisterInDanger di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (11/5/2016). Dalam aksinya mereka menyerukan pemerintah agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tanpa hukuman kebiri dan hukuman mati. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait memberikan apresiasi atas ditandatanganinya Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pelindungan Anak sebagai perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Hal tersebut kata Arist adalah hadiah istimewa untuk anak-anak Indonesia.

"Apa yang kita harapkan tercapai, kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa, maka penyelesaiannya harus luar biasa juga. Kita apresiasi sekali, ini adalah hadiah istimewa untuk anak-anak Indonesia," kata Arist kepada Tribunnews.com.

Presiden Joko Widodo akhirnya meneken Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak sebagai perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Perppu kebiri resmi berlaku kemarin untuk menjerat para pelaku kejahatan seksual anak.

Dalam Perppu tersebut memuat di antaranya sanksi tegas berupa hukuman lima tahun penjara hingga hukuman mati dan denda maksimal Rp 300 juta hingga Rp 5 miliar.

"Perppu ini untuk mengatasi kegentingan yang diakibatkan kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat signifikan," kata Presiden Jokowi di Istana Negara.

Berita Rekomendasi

Selain mengatur mengenai adanya hukuman pokok berupa hukuman penjara hingga mati ada pula hukuman tambahan yang akan diberlakukan.

Di antaranya adalah pemasangan alat deteksi elektronik di pergelangan kaki bagi para residivis agar diketahui gerak geriknya dan pengumuman identitas pelaku ke publik serta tindakan berupa kebiri kimia.

Pidana tambahan yaitu pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik.

Presiden mengatakan, Pidana Subsider bagi pelaku kekerasan terhadap anak tersebut akan memberikan ruang kepada hakim untuk memberikan putusan yang berat kepada pelaku.

"Kita berharap dengan hadirnya Perppu ini, bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku serta dapat tekan kejahatan seksual terhadap anak yang merupakan kejahatan luar biasa," kata Jokowi.

Dalam pasal 81 yang tercantum dalam Perppu Perlindungan Anak yang diteken Presiden Jokowi, dijelaskan pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

Di Pasal 81 ini, pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bila pelaku kekerasan seksual pada anak itu masih di bawah umur.

Ada 2 pasal dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diubah dengan Perppu ini yakni Pasal 81 dan Pasal 82.

Selain itu ada penyisipan pasal di antara Pasal 81 dan Pasal 82, yakni Pasal 81 A, juga penambahan pasal di antara Pasal 82 dan Pasal 83, dengan Pasal 82 A.

Pasal 81 dan 82 memuat mengenai sanksi bagi siapa saja yang melakukan kekerasan seksual, termasuk perbuatan cabul atau melakukan persetubuhan paksa pada anak.

Pasal 81 yang tadinya hanya memuat 2 pasal, dengan Perppu ini menjadi 9 Pasal. Pasal 82 yang tadinya hanya 1 pasal menjadi 8 pasal.

Menurut Arist, hal yang harus diperhatikan nantinya adalah mengenai Peraturan Pelaksana termasuk soal rehabilitasi dan pemulihan psikologis anak-anak korban kejahatan seksual anak.

Nantinya kata Arist hakim-hakim di pengadilan bisa saja menerapkan denda termasuk hitungan untuk biaya konsultasi psikologi dan rehabilitasi.

"Hakim nanti pada putusannya bisa diterapkan, kan itu denda maksimalnya mencapai Rp 5 miliar. Bisa saja dalam pelaksanaannya nanti hakim memutuskan untuk menanggung biaya rehabilitasi dan konsultasi anak korban gang rape itu," katanya.

Tidak Berlaku untuk Pelaku Anak
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan aturan tambahan yang memuat mengenai kebiri kimia, pemasangan chip dan pengumuman identitas pelaku tidak berlaku bagi pelaku yang masih anak-anak.

"Kebiri kimia, pasang chip dan publikasi identitas pelaku merupakan hukuman tambahan dan tidak berlaku bagi pelaku yang masih anak," ujarnya.

Perppu tersebut lanjut Khofifah akan diatur melalui peraturan pemerintah.

"Dalam Perppu akan diatur melalui peraturan pemerintah," ujar Khofifah.

Dalam Perppu kebiri juga diatur mengenai apabila pelaku adalah orang dekat korban seperti orangtua, wali, kerabat, guru hingga aparat, maka sanksi pidana yang disebutkan ditambah sepertiga.

Penambahan masa sanksi pidana tersebut berlaku juga bagi residivis, alias pelaku pidana yang pernah dihukum sebelumnya.

Perppu itu juga meningkatkan masa pidana penjara dari yang tadinya minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun meningkat menjadi minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.

Selain sanksi masa pidana, ditambahkan juga denda dari yang tadinya minimal Rp 60 juta dan maksimal Rp 300 juta, diubah menjadi maksimal Rp 5 miliar.

Sanksi tersebut ditujukan bagi siapa saja pelaku kekerasan seksual pada anak.

Bila korban anak dalam kekerasan seksual itu sampai luka berat, menderita gangguan jiwa, terganggu atau hilang fungsi reproduksinya hingga meninggal dunia, maka sanksinya adalah pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun.

Pasti Disetujui DPR
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly meyakini Perppu kebiri yang sudah diteken Presiden Joko Widodo akan disetujui oleh DPR.

"Enggak lah ditolak. Kami akan berupaya disahkan," kata Yasonna.

Hukuman tambahan ini kata Yasonna akan menyasar pelaku kejahatan seksual berulang, beramai-ramai dan paedofil atau terhadap anak dibawah umur. Perppu akan segera dikirimkan ke DPR.

"Kita berharap fraksi di DPR akan sepakat dengan pemerintah agar perppu ini dapat dijadikan Undang-Undang," ucap Yasonna.

Tak Selesaikan Kejahatan Seksual
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan menganggap pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual, yakni dengan suntik kimia atau kebiri, bukan solusi yang tepat.

Menurut dia, hukuman kebiri belum tentu menimbulkan efek jera.

"Apa menyelesaikan masalah? Saya kira kalau kebiri tidak akan menyelesaikan masalah. Kita harus runut, apa sih penyebabnya itu," ujar Zulkifli.

Zulkifli mengatakan, ada masalah lain yang lebih mengancam di balik tindak pidana asusila itu. Salah satunya adalah penggunaan narkoba.

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia berstatus darurat narkoba. Oleh karena itu, menurut Zulkifli, pelaku kejahatan narkoba harus diperberat hukumannya.

"Narkoba teman baiknya miras (minuman keras). Miras tidak terkendali di mana-mana. Miras melahirkan pornografi, pornografi melahirkan kekerasan," kata Zulkifli.

Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu menganggap sejumlah kasus pemerkosaan oleh anak di bawah umur tak masuk akal.

Ia yakin ada faktor lain yang menyebabkan pelaku melakukan tindakan ekstrim. Salah satunya karena pengaruh narkoba dan minuman keras.

"Narkoba lebih dari 40 orang mati dalam sehari. Banyak korban jiwa. Teroris satu atau dua (meninggal), lebih banyak narkoba," kata dia.

Zulkifli lebih setuju mengenakan hukuman maksimal terhadap pelaku kejahatan seksual ketimbang membuat aturan baru soal hukuman kebiri.

"Dengan hukuman berat saya kira lebih memberikan efek jera ketimbang kita bikin (peraturan) lagi," kata Zulkifli.

Tayangan TV Harus Diatur
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil memberikan beberapa catatan terhadap Perppu Kebiri yang disahkan Presiden Jokowi.

Pertama, Nasir Djamil memberikan apresiasi atas sikap responsif Presiden terhadap kondisi darurat kekerasan seksual, khususnya kepada anak.

Dalam konteks ini, maka penyempurnaan UU Perlindungan Anak dengan memberikan pemberatan ancaman hukuman pidana adalah tepat, baik itu pidana penjara, maupun pidana denda, serta ancaman hukuman mati jika korban anak sampai luka berat, menderita gangguan jiwa, terganggu atau hilang fungsi reproduksinya hingga meninggal dunia.

Kedua, Politikus PKS tersebut memberikan catatan terhadap jenis pidana tambahan berupa hukuman kebiri kimia yang ternyata tidak permanen yang dilakukan paling lama sesuai dengan pidana pokok yang dijatuhkan.

Akibat kebiri tidak permanen, maka akan menimbulkan pertanyaan bagaimana efek jeranya. Kalaupun permanen akan mengancam hak asasi dan kodrati manusia berkaitan dengan urusan biologis.

Karena itu, politikus asal Aceh ini mengatakan seharusnya tidak perlu diberi hukuman kebiri, tetapi langsung hukuman mati.

"Ini nanti akan terkait penerapannya yang harus proporsional dan terukur," kata Nasir.

Yang Ketiga Nasir Djamil mengkritisi tidak adanya pasal mengenai upaya pencegahan dan rehabilitasi kepada anak korban kekerasan seksual.

Padahal ini seharusnya menjadi bagian utuh dalam Perppu, sehingga dapat ditindaklanjuti dalam program-program pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Satu hal yang juga perlu dicatat, kejahatan seksual ini tidak berdiri sendiri. Ada banyak variabel yang melatarbelakanginya.

Faktor lingkungan, pendidikan, gaya hidup, masalah rumah tangga, tontonan, media massa, dan sebagainya. Hukuman yang berat semestinya juga diikuti dengan langkah-langkah antisipasi yang memadai.

Pemerintah bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang dapat mereduksi kemungkinan para pelaku pedofil beraksi. Pemerintah juga misalnya harus berpikir bagaimana membuat tayangan-tayangan yang dikonsumsi masyarakat tidak justru mendorong perilaku-perilaku menyimpang.

Terakhir Nasir Djamil berharap para hakim yang menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak untuk memiliki frame yang sama akan darurat kekerasan seksual terhadap anak.

"Karenanya, para hakim diminta agar memberikan hukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak tersebut," ujar Nasir Djamil. (nic/kps/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas