Perdebatan Sengit Soal Urutan Pancasila, Berikut Kalimat-kalimat yang Dihapus
Pancasila yang dikenal sebagai dasar negara saat ini mengalami sejumlah proses perubahan dari rumusan awal oleh Soekarno.
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM - Hari lahirnya Pancasila yang diperingati tiap 1 Juni memang identik dengan gagasan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno.
Rumusan awal Pancasila selama ini dianggap dikemukakan pertama kali oleh Soekarno sewaktu berpidato dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945.
Namun, Pancasila yang dikenal sebagai dasar negara saat ini mengalami sejumlah proses perubahan dari rumusan awal oleh Soekarno.
Adapun urutan Pancasila dalam rumusan yang dibuat Soekarno pada 1 Juni 1945 adalah:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa
Menurut Soekarno, lima asas itu merupakan Weltanschauung atau pandangan mendasar, filsafat, juga fundamen yang digali dari jati diri bangsa Indonesia.
Dalam pidatonya, Soekarno memang mempertanyakan, dasar apa yang akan digunakan Indonesia jika merdeka? Pertanyaan itu yang menjadi pemicu untuk merumuskan dasar negara Indonesia.
"Lenin mendirikan Uni Soviet dalam 10 hari di tahun 1917, tetapi weltanschauung-nya sudah dipersiapkan sejak 1895. Adolf Hitler berkuasa pada tahun 1935, tetapi weltanschauung-nya sudah dipersiapkan sejak 1922. Dr Sun Yat Sen mendirikan Negara Tiongkok pada tahun 1912, tapi weltanschauung-nya sudah dipersiapkan sejak 1985 yaitu San Min Chu I," ujar Soekarno dalam pidatonya.
Menurut Muhammad Hatta dalam tulisan "Wasiat Bung Hatta kepada Guntur Soekarno Putra" yang ditulis pada 16 Juni 1978, BPUPKI kemudian membentuk tim yang terdiri dari 9 orang untuk merumuskan kembali Pancasila yang dicetuskan Soekarno.
Adapun 9 orang itu adalah: Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, dan Muhammad Yamin.
Sembilan orang itu kemudian mulai mengubah susunan Pancasila versi Soekarno.
"Ketuhanan Yang Maha Esa" ditempatkan menjadi sila pertama. Sila kedua yang disebut Soekarno sebagai "Internasionalisme atau perikemanusiaan" diganti menjadi "Perikemanusiaan yang adil dan beradab".
Adapun sila "Persatuan Indonesia" digunakan untuk menggantikan "Kebangsaan Indonesia. Pada sila keempat, digunakan kata "Kerakyatan".
Sedangkan terakhir, digunakan sila "Kesejahteraan Sosial".
Menurut Hatta, pada 22 Juni 1945 rumusan hasil Panitia 9 itu diserahkan ke BPUPKI dan diberi nama "Piagam Jakarta".
Namun, ada sejumlah perubahan pada sila pertama pada Piagam Jakarta.
Adapun sila pertama yang tercantum dalam Piagam Jakarta adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".
Hamka Haq dalam buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam (2011) menulis bahwa sila itu merupakan hasil kompromi antara ideologi Islam dengan ideologi kebangsaan yang mencuat selama rapat BPUPKI berlangsung.
Sejumlah pembicara dalam sidang BPUPKI dari kalangan Islam, seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo, menilai bahwa kemerdekaan Indonesia diraih juga berkat perjuangan umat Islam.
"Tak akan ada nation Indonesia tanpa umat Islam. Lebih dari itu, karena kalangan nasionalis Indonesia yang berjuang dalam lingkup nasional yang mula pertama memang berwatak Islam," demikian pernyataan Ki Bagoes, seperti dikutip dari buku yang ditulis Hamka Haq.
Argumen itu kemudian disanggah, karena dinilai hanya melihat bangsa Indonesia berdasarkan demografis.
Umat Islam di Indonesia memang mencapai 90 persen.
Jika melihat kondisi geografis, khususnya di Indonesia Timur, maka komposisinya berbeda.
Pertimbangan bahwa Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang sampai Merauke itu juga yang menyebabkan muncul usulan agar dasar negara nggak berdasarkan agama tertentu.
Karena itu, dalam rapat Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, diputuskan untuk melakukan perubahan pada sila pertama dari yang ditulis dalam Piagam Jakarta.
Tujuh kata itu, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", kemudian dihapus.
"Sesungguhnya tujuh perkataan itu hanya mengenai penduduk yang beragama Islam saja, pemimpin-pemimpin umat Kristen di Indonesia Timur keberatan kalau tujuh kata itu dibiarkan saja, sebab tertulis dalam pokok dari pokok dasar negara kita, sehingga menimbulkan kesan, seolah-olah dibedakan warga negara yang beragama Islam dan bukan Islam," demikian penjelasan Muhammad Hatta.
Hingga kemudian, rumusan Pancasila versi 18 Agustus 1945 itu menjadi seperti yang dikenal saat ini, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keputusan dihapuskannya kata "syariat Islam" memang belum memuaskan sebagian umat Islam.
Sebagian kelompok masih berjuang untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu.
Mengutip buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam, ada kelompok yang kemudian mengekspresikannya dengan bentuk pemberontakan bersenjata. Misalnya, pemberontakan yang dilakukan kelompok DI/TII/NII.
Hamka Haq juga menulis, upaya untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta juga diperjuangkan melalui jalur politik.
Dalam sidang-sidang konstituante di Bandung pada periode 1956-1959 misalnya, sejumlah partai yang berasaskan Islam berupaya memperjuangkan berlakunya Syariat Islam sebagai dasar negara RI.