Hendardi Minta DPR Hentikan Pembahasan Perppu Kebiri
Ketua Setara Institute Hendardi mendukung penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atas hukuman kebiri
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Setara Institute Hendardi mendukung penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atas hukuman kebiri.
Hukuman kebiri adalah jenis corporal punishment atau physical punishment atau hukuman badan ala jahiliyah.
"Hukuman jenis ini bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk kategori kejam, inhuman, dan merendahkan martabat manusia yang artinya menabrak instrumen internasional, konstitusi, dan undang-undang kita," kata Hendardi melalui pesan singkat, Senin (13/6/2016).
Ia mencontohkan hukuman itu bertentangan dengan UU HAM, UU Ratifikasi Konvensi dan Anti Penyiksaan.
Menurutnya, sikap IDI didasarkan atas kemanusiaan dan sejalan dengan penolakan segala jenis hukuman badan yang tidak manusiawi yang juga ditentang oleh hukum HAM.
Ia menilai Perppu no. 1/2016 akan menjadi persoalan serius Presiden Jokowi di forum internasional.
Hendardi menuturkan sesungguhnya akan lebih bermanfaat Jokowi memprioritaskan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibanding mendengarkan masukan kelompok yang gemar dengan kampanye anti HAM.
"Kelompok yang hanya haus pencitraan untuk memberlakukan Perppu tersebut. Sebaiknya DPR menghentikan pembahasan Perppu tersebut," katanya.
Diketahui, IDI telah mengeluarkan surat tertanggal 9 Juni 2016 yang meminta agar dokter tidak menjadi eksekutor dari Perppu 1 Tahun 2016 yang memuat tindakan kebiri.
Penolakan tersebut didasarkan atas fatwa Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran (MKEK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kebiri Kimia dan juga didasarkan pada Sumpah Dokter serta Kode Etik Kodekteran Indonesia (Kodeki).
IDI juga menyatakan bahwa atas dasar keilmuan dan bukti-bukti ilmiah, kebiri kimia tidak menjamin hilang atau berkurangnya hasrat, serta potensi perilaku kekerasan seksual pelaku.
IDI juga meminta supaya pemerintah mencari solusi lain selain penggunaan kebiri kimia yang sekali lagi dianggap tidak efektif dalam kasus kekerasan seksual.