Emosi Korban Vaksin Palsu Memuncak Sebabkan Ricuh di RSIA Sayang Bunda Bekasi
Salah satu tuntutan para orang tua tersebut adalah meminta pihak rumah sakit menyerahkan rekam medis anak
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM,BEKASI - Emosi keluarga korban vaksin palsu kian tak terbendung. Sejak Kementerian Kesehatan mengumumkan nama jelas dan alamat rumah sakit pengguna vaksin palsu, keluarga korban pun berduyun-duyun mendatangi 14 rumah sakit yang tersebar di Jakarta, Tangerang dan Bekasi tersebut. Bahkan sempat terjadi kericuhan di beberapa rumah sakit akibat emosi keluarga korban.
Kericuhan sempat terjadi di RSIA Sayang Bunda, Pondok Ungu, Kota Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (16/7). Mabes Polri juga telah menetapkan direktur RSIA Sayang Bunda berinisial HUD menjadi tersangka kasus vaksin palsu.
Awalnya sekitar seratusan keluarga korban mendatangi rumah sakit tersebut untuk meminta penjelasan. Mereka berkumpul di lobi dan lantai 2 rumah sakit tersebut sejak Sabtu pagi. Mereka berteriak menyampaikan sejumlah tuntutan pertanggungjawaban dari manajemen rumah sakit lantaran sejumlah anak mereka terkena gejala sakit diduga karena vaksin
"Mana ini direkturnya, kami tidak mau lagi diulur-ulur. Kami sudah capek diminta tunggu dari hari Kamis," teriak seorang bapak dengan nada penuh emosi.
Salah satu tuntutan para orang tua tersebut adalah meminta pihak rumah sakit menyerahkan rekam medis anak yang pernah diberikan vaksin yang diduga palsu.
Baru pada sekitar pukul 13.00 WIB, perwakilan para orang tua diterima pihak rumah sakit yang diwakili, dr Teguh serta kuasa hukumnya, Damanik dan Rahma Azizah.
Suasana sempat memanas lantaran sebagian orang tua pasien tersebut menolak keinginan rumah sakit jika pemberian rekam medis diberikan pada Senin (18/7). Polsek Babelan Bekasi menerjunkan 50 polisi berseragam dan berpakaian preman untuk mengamankan rumah sakit.
"Enak aja bilang Senin. Memang kami tidak kerja. Senin itu orang kerja, anak pada masuk sekolah. Nanti Senin belum tentu rekam medisnya dikasih. Nanti sudah datang, pekerjaan kami juga bisa hilang," teriak seorang pria ke pihak rumah sakit.
"Kita ini diakal-akalin sama rumah sakit. Kalau kita ikuti mereka, keenakan mereka. Apa nggak kasihan nasib anak kita. Rumah sakit lain yang juga kena kasus begini sudah pada selesai, karena mereka mau tanggung jawab. Ini malah diulur-ulur," timpal seorang ibu.
Sabtu sore kericuhan pun akhirnya terjadi. Kericuhan bermula saat Ketua Forum Korban Vaksin Palsu RS Sayang Bunda, Teja Yulianto, menyampaikan hasil pertemuan dirinya dengan perwakilan manajemen rumah sakit.
Ia menyampaikan, bahwa RS Sayang Bunda baru bisa memberikan nama-nama pasien, rekam medis dan jenis vaksin yang diberikan, ke para orang tua pada Senin (18/7) pukul 14.00 WIB.
Perdebatan di antara Teja dan beberapa orang tua terjadi karena sebagian dari mereka menolak jadwal pemberian data tersebut. Sebab, mereka menduga hal itu bagian dari taktik pihak rumah sakit untuk mengulur waktu. Mereka khawatir data para anak yang pernah diberikan vaksin hilang atau sengaja dihilangkan.
Satu per satu keluarga korban mulai berteriak agar ruang data RSIA Sayang Bunda disegel. "Sabar, sabar, sabar...!" teriak Teja dengan pengeras suara.
Pihak Polsek Babelan yang dipimpin Kapolsek M Harahap berusaha meredam emosi puluhan keluarga korban. Namun, tak lama kemudian seorang bapak mengeluarkan teriakan yang menyinggung pihak kepolisian. Bapak tersebut berteriak dugaan adanya permainan dari pihak kepolisian setempat dan rumah sakit.
Mendengar kalimat tidak mengenakkan tersebut, beberapa polisi berpakain dinas dan pakaian preman langsung mengerebungi pria tersebut. Pria tersebut langsung dibekuk dan digiring ke depan rumah sakit. "Pak polisi, tolong jangan diapa-apakan bapak itu. Dia itu orang tua korban juga. Tolong, semuanya sabar!" lagi Teja berteriak dengan pengeras suara.
Sabtu sore, RS St Elisabeth di Jalan Raya Narogong, Kota Bekasi, juga digeruduk orangtua korban Mereka hendak mempertanyakan kelanjutan tuntutan mereka atas penggunaan vaksin palsu kepada anak mereka.
"Sore ini kami mau bertemu dengan dirut dan manajemen RS St Elisabeth. supaya tuntutan kami dipenuhi, minta diberikan data rekam medis, dilakukannya medical check up dan kami menuntut jaminan kesehatan anak atas dampak vaksin palsu hingga waktu ke depan," ujar Karlita (57), nenek dari dua cucu pasien vaksin di RS St Elisabeth.
Menurut Karlita, sejauh ini pihak rumah sakit kurang transparan perihal waktu awal kali digunakannya vaksin palsu ke pasien. "Mereka bilang baru pakai vaksin palsu dua tahun terakhir. Tapi, ada juga penjelasan beda. Jadi, saya tidak yakin dengan omongan mereka, jangan-jangan sudah pakai vaksin palsu sejak rumah sakit ini berdiri," tuturnya. (tribunnews/coz/yud)