12 Koruptor yang Geram Rasakan Kerasnya Pukulan Palu Hakim Agung Artidjo
Vonis berat menanti terpidana koruptor jika kasasinya ditangani Artidjo.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Agung Artidjo Alkostar dikenal sebagai hakim "galak" dalam menjatuhkan hukuman. Terutama bagi para koruptor.
Vonis berat menanti terpidana koruptor jika kasasinya ditangani Artidjo. Ketukan "palu" Artidjo begitu menakutkan.
"Kegalakan" palu Artidjo itu terbukti kembali kala Mahkamah Agung memperberat hukuman pengacara Otto Cornelis Kaligis dari tujuh tahun menjadi 10 tahun penjara setelah permohonan kasasinya ditolak.
Kaligis merupakan terpidana kasus dugaan suap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara. Dia jadi tersangka bersama dua hakim lainnya dalam rangka mengamankan perkara yang menyeret Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho (kini tak lagi menjabat) dalam kasus korupsi dana bansos Sumut.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kaligis divonis 5,5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Komisi Pemberantasan Korupsi tak terima vonis itu dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.
Majelis hakim kasasi perkara itu dipimpin Artidjo Alkostar dengan anggota Krisna Harahap dan M Latif.
Hukuman bagi mantan politisi Partai Nasdem ini bertambah di tingkat banding menjadi tujuh tahun penjara dengan jumlah denda yang sama.
Hukuman Kaligis, selain dihukum 10 tahun penjara, ia juga harus membayar denda senilai Rp 500 juta subsider enam bulan.
Menurut majelis hakim, Kaligis yang bergelar guru besar seharusnya menjadi panutan yang harus digugu dan ditiru seluruh advokat dan mahasiswa.
Sebagai seorang advokat terdakwa seharusnya steril dari perbuatan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lain dalam menjalankan profesinya sesuai sumpah jabatan yang harus dipatuhi setiap Advokat. Itu seperti tertuang dalam Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, kata majelis hakim.
Berikut sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan politisi pernah ditangani Artidjo:
1. Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq
Artidjo memperberat hukuman mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara.
Bahkan dalam putusan kasasinya, MA juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik.
Putusan kasasi itu dijatuhkan pada Senin (15/9/2014) dengan ketua majelis kasasi yang juga Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar, dengan anggota majelis Hakim Agung M Askin dan MS Lumme.
Seperti dikutip dari harian Kompas, 16 September 2014, Ketua Kamar Pidana MA yang juga Ketua Majelis Kasasi perkara Luthfi, Artidjo Alkostar, mengatakan, perbuatan Luthfi sebagai anggota DPR dengan melakukan hubungan transaksional telah mencederai kepercayaan rakyat.
”Perbuatan terdakwa selaku anggota DPR yang melakukan hubungan transaksional telah mencederai kepercayaan rakyat banyak, khususnya masyarakat pemilih yang telah memilih terdakwa menjadi anggota DPR RI,” ujar Artidjo kepada Kompas, Senin (15/9/2014).
Artidjo mengatakan, majelis kasasi menolak kasasi terdakwa karena hanya merupakan pengulangan fakta yang telah dikemukakan dalam pengadilan tingkat pertama dan banding. MA mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu sama dengan tuntutan jaksa KPK, yaitu 10 tahun penjara dan delapan tahun penjara untuk perkara pencucian uang. (Baca: Vonis Luthfi Pecahkan Rekor di Antara Politisi Korup)
Artidjo mengungkapkan, dalam pertimbangannya, majelis kasasi menilai judex facti (pengadilan tipikor dan PT DKI Jakarta) kurang mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan seperti disyaratkan pada 197 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di dalam pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd). Hal yang memperberat itu adalah, Luthfi sebagai anggota DPR melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi fee. Perbuatan Luthfi itu menjadi ironi demokrasi. Sebagai wakil rakyat, dia tidak melindungi dan memperjuangkan nasib petani peternak sapi nasional.
”Hubungan transaksional antara terdakwa yang anggota badan legislatif dan pengusaha daging sapi Maria Elizabeth Liman merupakan korupsi politik karena dilakukan terdakwa yang dalam posisi memegang kekuasaan politik sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crime),” ujar Artidjo.
Sebelumnya, Luthfi divonis 16 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia dinyatakan terbukti korupsi dan melakukan tindak pidana pencucian uang. Pengadilan tipikor juga menjatuhkan hukuman tambahan denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hanya memperbaiki lamanya subsider denda, yaitu dari satu tahun kurungan menjadi enam bulan kurungan.
2. Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh alias Angie
Putusan Mahkamah Agung memperberat hukuman mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh alias Angie, terkait kasus korupsi Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Mantan Puteri Indonesia itu divonis 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta dari vonis sebelumnya 4 tahun 6 bulan.
Putusan tersebut diberikan oleh majelis kasasi yang dipimpin Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar dengan hakim anggota MS Lumme dan Mohammad Askin, Rabu (20/11/2013).
Kamis (21/11/2013), majelis kasasi juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS (sekitar Rp 27,4 miliar). Sebelumnya, baik Pengadilan Tindak Pidana Korupsi maupun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tidak menjatuhkan pidana uang pengganti.
Angie dijerat Pasal 12 a Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. MA membatalkan putusan Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menyatakan Angie melanggar Pasal 11 UU itu.
Menurut majelis kasasi, Angie dinilai aktif meminta dan menerima uang terkait proyek-proyek di Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian Pemuda dan Olahraga.
”Terdakwa aktif meminta imbalan uang atau fee kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar 7 persen dari nilai proyek. Disepakati 5 persen. Dan (fee) ini harus sudah harus diberikan kepada terdakwa 50 persen pada saat pembahasan anggaran dan 50 persen (sisanya) ketika DIPA turun. Itu aktifnya dia (terdakwa) untuk membedakan antara Pasal 11 dan Pasal 12 a," ungkap Artidjo, saat itu.
Menurut Artidjo, majelis kasasi juga mempertimbangkan peran Angie aktif memprakarsai pertemuan dan memperkenalkan Mindo dengan Haris Iskandar, sekretaris pada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional untuk mempermudah penggiringan anggaran Kemendiknas.
”Terdakwa juga beberapa kali melakukan komunikasi dengan Mindo tentang tindak lanjut dan perkembangan upaya penggiringan anggaran dan penyerahan imbalan uang atau fee. Terdakwa lalu mendapat imbalan dari uang fee Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar AS,” ujarnya.
3. Mantan Ketua MK Akil Mochtar
Pada Senin (23/2/2015), palu Artijo "galak" menolak kasasi Akil dan menguatkan putusan sebelumnya yang menghukum Akil dengan pidana seumur hidup.
Persidangan kasus Akil berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Dalam sidang tersebut, Bupati Tapanuli Tengah nonaktif Bonaran Situmeang didakwa memberikan uang Rp 1,8 miliar kepada Akil.
Pemberian itu hadiah untuk memengaruhi putusan perkara permohonan keberatan dari dua pasangan calon atas hasil Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah pada 2011.
Penolakan kasasi Akil Mochtar oleh MA disampaikan Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar. MA menguatkan putusan sebelumnya yang menghukum Akil dengan pidana seumur hidup.
”Alasan kasasi terdakwa pun tidak bisa dibenarkan karena pengulangan fakta yang merupakan penilaian hasil pembuktian yang dipertimbangkan dengan benar oleh judex facti,” ujar Artidjo Alkostar yang juga ketua majelis kasasi.
4. Mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah
Lagi-lagi tak ada yang lepas dari "galaknya" palu Artijo yang kali ini menolak pengajuan kasasi dari mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah. Ratu Atut merupakan terdakwa kasus dugaan suap terhadap hakim konstitusi terkait penanganan sengketa Pilkada di MK.
Hukuman pidana terhadap Ratu Atut kini diperberat dari empat tahun menjadi tujuh tahun penjara.
"Amar putusan, kasasi terdakwa ditolak," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur, dalam pesan singkatnya, Selasa (24/2/2015).
Perkara Ratu Atut dengan no 285 K/Pid.Sus/2015 telah diputus pada tanggal 23 Februari 2015. Majelis Hakim yang memutus perkara ini diketuai oleh Hakim M.S. Lumme dengan Hakim anggota Krisna Harahap serta Artidjo Alkostar.
Ratu Atut sebelumnya diputus pidana penjara 4 tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan tersebut dengan tetap menvonis Ratu Atut selama 4 tahun.
Selain Ratu Atut, pada waktu bersamaan, Mahkamah Agung juga telah memutus permohonan mantan anggota DPR, Susi Tur Andayani. Susi juga merupakan terdakwa kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di MK.
Majelis memutuskan untuk menolak permohonan Susi yang tercatat dengan Nomor 2262 K/Pid.Sus/2014. "Amar putusan, kasasi terdakwa ditolak," kata Ridwan Mansyur.
Permohonan kasasi Susi Tur Andayani diputus pada tanggal 23 Februari 2015. Hakim yang memutus perkara ini diketuai oleh Hakim M.S. Lumme dengan Hakim anggota Muhammad Askin serta Artidjo Alkostar.
5. Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum
Artidjo kembali memperberat hukuman terhadap korupstor, yang kali ini adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, setelah menolak kasasi yang diajukannya. Anas yang semula dihukum tujuh tahun penjara kini harus mendekam di rumah tahanan selama 14 tahun.
Melalui Hakim Agung Krisna Harahap yang merupakan anggota majelis hakim mengatakan, putusan kasasi bukan hanya menemui kegagalan, tapi juga merugikan untuk Anas.
"Anas Urbaningrum bukan hanya menemui kegagalan, melainkan justru telah menjadi bumerang baginya, ketika majelis hakim agung di MA melipatgandakan hukuman yang harus dipikulnya menjadi 14 tahun pidana penjara," ujar Hakim Agung Krisna Harahap, melalui pesan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (8/6/2015).
Selain itu, Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan empat bulan kurungan. Krisna menjelaskan, Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 57.592.330.580 kepada negara.
"Apabila uang pengganti ini dalam waktu satu bulan tidak dilunasinya, maka seluruh kekayaannya akan dilelang. Apabila masih juga belum cukup, ia terancam penjara selama empat tahun," kata Krisna.
Majelis hakim yang memutus kasus tersebut terdiri dari Artidjo Alkostar, Krisna Harahap, dan MS Lumme.
Bahkan MA mengabulkan pula permohonan jaksa penuntut umum dari KPK yang meminta agar Anas dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam menduduki jabatan publik.
Majelis hakim berkeyakinan bahwa Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam secara pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang TPPU jo Pasal 64 KUHP, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Dalam pertimbangannya, MA menolak keberatan Anas yang menyatakan bahwa tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus dibuktikan terlebih dahulu. Majelis Agung mengacu pada ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.
Majelis pun menilai, pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan bahwa hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut adalah keliru. Sebaliknya, MA justru berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin.
"Kemungkinan bahwa publik salah pilih kembali haruslah dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya," kata Krisna.
6. Adik Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan
Permohonan kasasi terdakwa kasus suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah Lebak, Banten, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, ditolak Mahkamah Agung yang dipimpin Artidjo.
Adik Gubernur nonaktif Banten Ratu Atut Chosiyah tersebut diperberat hukumannya oleh majelis hakim yang dipimpin Artidjo Alkostar dengan anggota M Askin dan MS Lumme.
Upaya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan untuk meringankan hukuman kandas, setelah permohonan kasasinya ditolak dan bahkan hukuman diperberat menjadi tujuh tahun.
“Menolak permohonan kasasi terdakwa,” kata Ketua Majelis Hakim Agung Artdijo Alkostar, di Jakarta.
Sebelumnya, MA menolak permohonan Gubernur non-aktif Banten Ratu Atut Choisiyah dan pengacara Susi Tur Andayani dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
Wawan mengajukan kasasi, karena tidak puas atas putusan banding dari Pengadilan Timggi (PT) DKI Jakarta, yang menguatkan putusan Pengadilan Tindak pidana Korupsi (Tipikor), yang menghukum selama lima tahun.
Putusan perkara nomor 2429 K/PID.SUS/2014, diputus, Rabu (25/2/2015). Dengan majelis hakim yang diketuai oleh Artidjo Alkostar, dengan hakim anggota MS Lumme dan Prof M Askin.
Perkara yang menjerat Wawan, yang juga telah dijadikan tersangka dalam kasus pembangunan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) di Kota Tangerang Selatan, adalah suap terkait dengan sengketa Pilkada Lebak, Banten.
Dia adalah sponsor bagi penyediaan dana untuk calon Bupati Lebak Amir Hamzah. Dengan perantara pengacara Susi Tur Andayani untuk menyerahkan suap, guna memenangkan sengketa Pilkada Lebak, 23 Juni 2014.
7. mantan Gubernur Riau Annas Maamun
Artidjo kembali memperberat hukuman mantan Gubernur Riau Annas Maamun dari enam tahun penjara menjadi tujuh tahun penjara serta membayar denda Rp200 juta atau hukumannya ditambah enam bulan kurungan setelah permohonan kasasinya ditolak.
Anggota majelis hakim kasasi Krisna Harahap, di Jakarta, Kamis (4/2), membenarkan permohonan kasasi yang diajukan oleh mantan orang nomor satu di Provinsi Riau itu ditolak.
Majelis hakim perkara tersebut Artidjo Alkostar, Krisna Harahap dan MS Lumme memiliki pertimbangan Anas Maamun telah menerima hadiah atau janji sebagaimana diatur dalam pasal 12b dan 12e Undang Undang (UU) Tipikor.
Selain itu, valuta asing yang dimilikinya berupa 32.000 dolar AS ternyata mempunyai seri baru tahun 2014, sehingga pengakuannya bahwa dolar AS itu telah dimilikinya sejak menjadi bupati Rokan Hulu. Menjadi terbantahkan, lagi pula mata uang asing itu tidak pernah dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang dibuat pada 1 Juni 2013 saat ia mencalonkan diri sebagai gubernur Riau.
Sebelumnya, mantan Gubernur Riau Annas Maamun divonis enam tahun penjara dan membayar denda Rp200 juta subsider dua bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung terkait perkara dugaan suap alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Singingi Riau.
8. Eks pegawai pajak Tommy Hindratno
Eks pegawai pajak Tommy Hindratno dengan penjara 3 tahun 6 bulan atas kasus korupsi pajak PT Bhakti Investama Tbk (PT BHIT). Namun di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memvonis Tommy 10 tahun penjara.
Vonis itu dijatuhkan Majelis Hakim Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Moh Askin pada 26 September 2013. Pemohon dari kasasi itu adalah Jaksa Penuntut Umum pada KPK.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Tommy terbukti melanggar Pasal 5 ayat 2 jo Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Tipikor dengan hukuman penjara 3 tahun 6 bulan, denda Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan. Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
9. Mantan politikus Partai Demokrat Sutan Bathoegana
Artidjo Alkostar, MS Lumme dan Abdul Latif kembali mengetukkan palunya dengan keras. Kali ini mantan politikus Partai Demokrat Sutan Bathoegana yang mendapatkan vonis dari trio 'algojo' tersebut.
Sutan saat menjadi Ketua Komisi VII DPR menerima duit dari Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno sebesar USD 140 ribu dan dari Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini sebesar USD 200 ribu.
Tidak hanya itu, Sutan juga menerima satu unit tanah dan bangunan seluas 1.194,38 m2 di Medan dari Komisaris PT SAM Mitra Mandiri, Saleh Abdul Malik. Uang dan tanah itu tidak diberikan secara cuma-cuma karena untuk memuluskan berbagai perkara yang ada di DPR.
Rabu (13/4/2016), majelis kasasi menaikkan hukuman Sutan dari 10 tahun menjadi 12 tahun penjara. Duduk sebagai ketua majelis hakim yaitu Artidjo Alkostar dengan anggota MS Lumme dan Prof Dr Abdul Latif. Selain itu, majelis hakim juga mengabulkan permohonan jaksa KPK untuk mencabut hak-hak politik Sutan.
Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa KPK yang hanya menuntut Sutan selama 11 tahun penjara.
10. Aiptu Labora Sitorus, bintara polisi di Papua
Kembali MA melalui "algojonya" Artidjo mengeluarkan putusan memperberat hukuman untuk koruptor. Kali ini putusan itu dikeluarkan untuk kasasi yang diajukan Aiptu Labora Sitorus, bintara polisi di Papua yang terlibat illegal logging dan penimbunan BBM.
Dalam laman kepaniteraan MA menyebutkan, majelis hakim mengabulkan kasasi Jaksa Penutut Umum dan menolak permohonan terdakwa.
Perkara itu sendiri disidangkan oleh Artidjo Alkostar yang selama ini dikenal garang terhadap kasus-kasus korupsi. Selain Artidjo, susunan majelis hakim lainnya ialah Surya Jaya dan Sri Murwahyuni.
"MA mengadili sendiri perkara itu dengan menjatuhkan putusan 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar," ujar Artidjo.
Pengadilan Negeri Sorong diketahui selama ini meloloskan Labora dari jeratan pencucian uang. Dia hanya divonis melanggar UU Migas dan UU Kehutanan. Vonis pemilik rekening Rp 1,5 triliun ini hanya dua tahun penjara dan denda 50 juta.
Jaksa dan terdakwa sama-sama banding. Pengadilan Tinggi memberikan vonis yang lebih berat yakni 8 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Jaksa dan Labora pun mengajukan kasasi. Menurut Artidjo, majelis hakim menolak kasasi terdakwa karena yang diajukan hanyalah pengulangan dari persidangan tingkat pertama dan kedua.
11. Mantan Korlantas Polri, Irjen Pol Djoko Susilo
Mahkamah Agung (MA) kembali mengeluarkan putusan atas kasasi yang diajukan terdakwa perkara korupsi dan pencucian uang terkait pengadaaan alat simulator di Korlantas Polri, Irjen Pol Djoko Susilo.
Vonis terhadap Jenderal Bintang dua tersebut telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
Dalam putusan tertanggal 4 Juni 2014 tersebut, majelis kasasi yang terdiri atas Hakim Agung Artidjo Alkostar selaku ketua dan hakim agung MS Lumme dan M Askin sebagai anggota, menyatakan menolak kasasi yang diajukan Djoko. Sebaliknya, memperkuat putusan banding yang diambil Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
Djoko Susilo tetap harus menjalani hukuman pidana penjara selama 18 tahun dan membayar pidana denda Rp 1 miliar. Serta, dibebani pidana tambahan dengan membayar uang pengganti sebesar Rp 32 miliar.
Dalam amar putusannya, majelis hakim MA menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menghukum Djoko dengan pidana 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar serta hukuman pengganti Rp 32 miliar. Meskipun tidak dengan suara bulat, MA tetap mencabut hak Djoko Susilo untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik.
Putusan tersebut dijatuhkan majelis kasasi yang dipimpin Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar dengan hakim anggota MS Lumme dan M Askin pada 4 Juni lalu. Majelis kasasi sepakat Djoko terbukti korupsi dalam proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) roda dua dan roda empat serta melakukan tindak pidana pencucian uang.
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta serta tidak menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti. Namun, putusan tersebut diperberat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menambah hukuman Djoko menjadi 18 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan memerintahkan pembayaran uang pengganti Rp 32 miliar. Majelis banding yang dipimpin Roki Pandjaitan juga mencabut hak politik Djoko.
12. Pengacara, OC Kaligis
Teranyar, palu Artidjo mengantarkan OC Kaligis harus hidup di penjara hingga usia 84 tahun. OC Kaligis terbukti menjadi otak penyuapan terhadap Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Tripeni dkk.
Majelis kasasi yang terdiri atas Artidjo Alkostar, Abdul Latief dan Krisna Harahap pada 10 Agustus 2016 memperberat vonis terhadap OC Kaligis dari tujuh tahun penjara di tingkat banding menjadi 10 tahun penjara.
Majelis juga menambah denda yang harus dibayar Kaligis dari Rp 300 juta menjadi Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kaligis divonis 5,5 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Komisi Pemberantasan Korupsi tak terima vonis itu dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.
Hukuman bagi mantan politisi Partai Nasdem ini bertambah di tingkat banding menjadi tujuh tahun penjara dengan jumlah denda yang sama.
Menurut majelis hakim, Kaligis yang bergelar guru besar seharusnya menjadi panutan yang harus digugu dan ditiru seluruh advokat dan mahasiswa.
Sebagai seorang advokat terdakwa seharusnya steril dari perbuatan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lain dalam menjalankan profesinya sesuai sumpah jabatan yang harus dipatuhi setiap Advokat. Itu seperti tertuang dalam Pasal 4 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, kata majelis hakim.
Dalam kasus ini, Kaligis menyuruh bawahannya membawa amplop berisi uang yang diselipkan dalam buku untuk diberikan ke hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.
Selain itu, Kaligis selalu melimpahkan kesalahan ke anak buahnya, M Yagari Bhastara, yang juga dipidana dalam kasus ini. Padahal, Gary hanya menuruti perintah Kaligis.
Kaligis didakwa menyuap majelis hakim dan panitera PTUN di Medan sebesar 27.000 dollar AS dan 5.000 dollar Singapura. Uang tersebut didapat Kaligis dari istri Gubernur nonaktif Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, Evy Susanti, yang ingin suaminya "aman" dari penyelidikan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
Evy memberikan uang sebesar 30.000 dollar AS kepada Kaligis untuk diserahkan kepada hakim dan panitera PTUN Medan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.