Kuasa Hukum Suud Rusli Sebut Eksekusi Mati 29 Juli 2016 Tidak Sah
Komnas HAM menerima laporan Boyamin Saiman, Kamis (11/8/2016) di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari.
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komnas HAM menerima laporan Boyamin Saiman, Kamis (11/8/2016) di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari.
Laporan itu berisi dugaan status eksekusi mati empat terpidana mati 29 Juli 2016 lalu yang tidak sah.
Boyamin adalah kuasa hukum dari Suud Rusli, terpidana hukuman mati dalam kasus pembunuhan terhadap bos PT Asba, Budhyarto Angsana dan pengawalnya Edy Siyep di daerah Pluit, Jakarta Utara tahun 2003 lalu.
Boyamin menyatakan bahwa eksekusi mati di Pulau Nusakambangan tersebut tidak sah atau bisa disebut pembunuhan lantaran tidak mengindahkan grasi yang sudah diajukan oleh Fredy Budiman, Seck Osmane, dan Humprey Ejike.
Ia menyebutkan dalam undang-undang nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi pasal 13 menjelaskan bahwa pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan Grasi diterima langsung oleh terpidana.
"Humprey Ejike melayangkan surat grasi tanggal 25 Juli 2016, Seck Osmane tanggal 27 Juli 2016, dan Fredy Budiman tanggal 28 Juli 2016. Semuanya sudah diterima oleh pihak pengadilan negeri. Kalau menurut undang-undang permohonan grasi sah. Jadi eksekusi mati itu bersifat tidak sah atau bisa disebut pembunuhan," ujar Boyamin usai memberikan laporan resmi di Kantor Komnas HAM.
Boyamin melanjutkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengubah ketetapan pasal 7 ayat 2 UU No 5 Tahun 2010 yang berbunyi apabila grasi tidak diajukan setahun setelah adanya putusan hukum berkekuatan tetap maka grasi akan kadaluarsa menjadi pengajuan grasi tidak memiliki batas waktu pada 16 Juni 2016 lalu.
"Sudah sangat jelas bahwa grasi yang diajukan ketiga terpidana mati sah dan tidak boleh dieksekusi mati sampai adanya Keputusan Presiden," lanjutnya.
Boyamin menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukannya ini sebagai rasa prihatin terhadap penegakan hukum di Indonesia yang tidak berdasarkan konstitusi.
"Dengan laporan ini saya menyatakan eksekusi mati tanggal 29 Juli 2016 sebagai pelanggaran terhadap konstitusi dan pelanggaran hak asasi manusia mendasar," katanya.
Boyamin Saiman rencananya akan melaporkan hal yang sama kepada pihak Komisi III DPR RI pekan depan.