Kemarau, Tapi Mengapa Hujan Deras Masih Guyur Indonesia? Ini Penyebabnya
Wilayah Indonesia secara umum sejak April sampai awal pertengahan Agustus ini sebenarnya masih masuk dalam musim kemarau.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Wilayah Indonesia secara umum sejak April sampai awal pertengahan Agustus ini sebenarnya masih masuk dalam musim kemarau.
Namun sejak beberapa bulan lalu pula, curah hujan yang tinggi masih tetap terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia, meski musim kemarau sudah datang.
Fenomena ini menandakan bahwa Indonesia berada dalam kondisi kemarau basah atau Well Spell, yang diperkirakan akan terus terjadi sampai penghujung akhir tahun 2016, atau sampai saat masuknya musim hujan, sekitar Oktober.
Hal itu dikatakan Kepala Biro Humas dan Organisasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Wahyu Adjie kepada Warta Kota (Tribunnews.com Network), Jumat (19/8/2016).
"Kemarau basah dikenal pula dengan sebutan Well Spell, dimana sebenarnya sudah masuk musim kemarau tetapi masih terus terjadi curah hujan yang tinggi," kata Wahyu.
Kepala BMKG, Andi Eka Sakya menambahkan adanya fenomena kemarau basah di Indonesia ini, berdasarkan dari pengamatan 50 tahun terakhir. Penyebabnya karena pasca terjadinya El Nino yang akan diikuti langsung La Nina.
Dimana La Nina merupakan fenomena mendinginnya suhu muka laut di Samudera Pasifik area khatulistiwa, yang mendorong bertambahnya suplai uap air bagi Indonesia sehingga curah hujan akan cenderung meningkat.
Sedangkan El Nino merupakan kebalikan, yaitu musim kemarau panjang dengan minim curah hujan.
Hal ini, kata Andi, menjadikan kondisi kemarau basah terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia.
"Bahkan hanya 26 persen wilayah Indonesia yang benar-benar merasakan musim kemarau" kata Andi.
Menurutnya paska El Nino yang diikuti La Nina membuat kemarau basah terjadi di Indonesia. "Sehingga terjadi kondisi kemarau basah di Indonesia, karena fenomena itu," katanya.
Menurut Andi, pada 2015 lalu dimana terjadi kebakaran hutan dan lahan yang besar di Indonesia, juga terjadi karena saat itu El Nino melanda Indonesia. Dimana mengakibatkan musim kemarau panjang dengan minim curah hujan.
Hal ini merupakan anomali hujan yang kerap terjadi beberapa tahun belakangan.
"Saat ini tren kenaikan La Nina sudah mulai nampak, setelah El Nino, namun intensitasnya masih lemah," kata Andi.
Bahkan, katanya, sebagian lembaga internasional memprediksi terjadinya La Nina di Indonesia yakni mulai Agustus, September, dan Oktober 2016.
"Atas kondisi ini, tidak banyak wilayah Indonesia yang betul-betul merasakan musim kemarau, kalaupun mengalami, periodenya sangat pendek," kata Andi.
Ia menambahkan, akibat kondisi kemarau basah yang diperkirakan akan berlangsung hingga penghujung tahun hingga bertemu dengan masuknya kembali musim hujan, maka akan ada masa transisi.
Masa ini bisa ditandai berupa angin kencang dan puting beliung serta gelombang tinggi yang bisa terjadi mulai Agustus ini.
"Sebanyak 92,7 persen wilayah Indonesia sudah mulai akan masuk musim hujan sampai November. Dan dalam proses transisinya saat ini akan terjadi angin kencang, puting beliung dan gelombang tinggi," katanya.
Andi menjelaskan pada bulan Mei dan Juni 2016 lalu, titik api di sejumlah wilayah kebakaran hutan di Indonesia sudah mulai menurun.
Tetapi pada Agustus 2016, titik api kembali ada lagi di sejumlah wilayah di Riau, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan.
"Kondisi ini tidak separah dibandingkan tahun 2015," katanya.
Berdasarkan pemantauan BMKG, kata Andi, perkembangan Hot Spot atau titik api pada September, Oktober, November, Desember nantinya hampir tidak ada.
Andi menuturkan pihaknya memprediksi Agustus ini sejumlah wilayah tetap harus mewaspadai potensi kebakaran hutan dan lahan.
Wilayah yang diminta waspada adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Selain itu, ke depan untuk wilayah lain di Indonesia diminta meningkatkan kesiapan menghadapi musim hujan yang terjadi diperkirakan mulai Oktober atau November.
Sebab kondisi ini akan membawa dampak negatif dan positif di berbagai sektor.
"Dampak positif, yaitu meningkatnya potensi luas tanam sawah, meningkatkan frekuensi tanam, ketersediaan air untuk pertanian dan waduk," katanya.
Sedangkan beberapa dampak negatifnya kata Andi, antara lain adalah peningkatan potensi banjir dan longsor, penurunan produksi kopi, tembakau, garam, tanaman buah tropika, dan tingginya gelombang yang bisa mengganggu kegiatan nelayan. (Wartakotalive.com/Budi Sam Law Malau)