Siswa Butuh Full Day Play daripada Full Day School
Masih banyak juga ditemukan ketimpangan fasilitas pendidikan dimana-dimana
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pendiri LP3i (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia), Syahrial Yusuf menyatakan wacana full day scholl meski dilakukan setelah jam pelajaran dan dijamin tak ada pelajaran dengan alasan mempersempit jeda waktu siswa sekolah dengann orang tua dinilainya kurang rasional, cenderung terlalu dipaksakan, dan rentan kontraproduktif.
“Wacana full day school itu tak perlu dilempar ke publik bila konsep dan teknisnya tampak belum siap dan masih kurang jelas seperti itu. Ini seolah kelihatan cenderung terlalu dipaksakan dan rentan kontraproduktif. Ingat bahwa Negara Indonesia ini sangat luas dan heterogen, maka harus ada standardisasi tertentu yang relevan” jelas
Syahrial di Jakarta, Senin (22/8/2016).
Menurutnya, ada sejumlah faktor yang mendasar yang mengakibatkan kondisi demikian. Geografis dan infrastrukturnya di daerah berbeda-beda dan masih banyak juga ditemukan ketimpangan fasilitas pendidikan dimana-dimana, tentu tak bisa disamakan begitu saja dengan daerah yang memenuhi ketersediaanya. Belum lagi pengimlementasiannya
nanti dibebankan kemana persoalan biayanya.
“Kalau infrastruktur merata sih mungkin tak terlalu masalah ya, tapi dilihat dari realitas infrastruktur fasilitas pendidikan saja masih banyak temuan yang memprihatinkan lhoh. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk implementasinya nanti baik dari sisi sekolah atau pemerintah dan wali murid. Anggaran pos pendidikan saja sampai ikut dipangkas dalam APBNP kita karena imbas seret fiskal,” ujarnya.
Lanjutnya, dari segi siswa juga sama akan sepintas akan tampak keletihan setiap hari bisa berimbas pada kurang maksimalnya mereka dalam konsentrasi belajarnya. Meski ada kegiatan ekstrakurikeler pilihan disekolah yang ditawarkan pada wacana tersebut, beberapa dari mereka juga akan terhambat haknya untuk mengikuti pengembangan diri diluar sekolah yang dikehendaki siswa dan orang tua.
“Coba pikir, kita yang orang dewasa saja bisa keletihan dengan standar kerja 8 jam, apalagi anak-anak psikologinya nyaman tidak? Apakah pemerintah bisa menjaminnya nanti? Sementara konsep dan teknisnya
belum jelas,” selorohnya.