Peneliti: Analisis Prof Jimly Sangat Tepat Aksi 25 November Punya Agenda Jatuhkan Presiden Jokowi
Jimly Asshiddiqie menduga aksi lanjutan pada 25 November 2016 memiliki agenda untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Indonesia Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar menilai tepat analisis mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menduga aksi lanjutan pada 25 November 2016 memiliki agenda untuk menjatuhkan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kenapa demikian?
Karena Erwin menilai jika tuntutan utamanya gerakan Islam pada 4 November adalah ketidakpercayaan pada sistem hukum.
Hal itu sudah direspon Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk memproses hukum kasus dugaan Penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Bahkan prosesnya pun sudah jalan. Artinya, tidak ada lagi alasan utama untuk turun ke jalan lagi pada 25 November mendatang.
"Analisis Jimly sangat tepat. Jika tuntutan utamanya gerakan Islam pada 4 November adalah ketidakpercayaan pada sistem hukum, hal itu sudah direspon presiden. Dan prosesnya pun sudah jalan. Artinya, tidak ada lagi alasan utama untuk turun ke jalan," tegas Erwin Natosmal kepada Tribunnews.com, Senin (14/11/2016).
Masalahnya, Erwin Natosmal mengingatkan bahwa hak kebebasan berpendapat dan berkumpul itu potensial dibonceng oleh kepentingan jangka pendek para politisi yang tidak percaya demokrasi.
Pun rawan diboncengi kepentingan pihak-pihak yang sedang berkontestasi dalam Pilkada DKI dan Pemilu 2019.
Jika hal itu yang terjadi Erwin Natosmal menegaskan hal ini tentu sebuah kemunduran bagi pencapaian bangsa ini sebagai bangsa dan negara.
Karena dia ingatkan, upaya-upaya yang ingin memperoleh kekuasaan dengan cara singkat dengan merubah sistem bahkan menyasar presiden adalah bertentangan dengan sistem demokrasi yang kita anut.
"Saya melihat hal itulah yang dikuatirkan Prof Jimly," ucapnya.
Jimly Asshiddiqie menduga aksi lanjutan pada 25 November 2016 memiliki agenda untuk menjatuhkan Presiden Jokowi.
Bukan lagi menuntut kasus dugaan penistaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Namun, jika dengan massa yang jumlahnya lebih besar dari aksi 4 November 2016, dia mencium ada agenda lain.
"Kalau pun tetap mau demo, sebaiknya jangan lebih besar dari yang lalu agar tidak dicurigai punya agenda untuk menjatuhkan presiden yang sah," kata Jimly saat dihubungi wartawan, Senin (14/11/2016).
Pakar hukum tata negara ini mengaku tidak ikhlas apabila umat Islam dimanfaatkan pihak tertentu untuk melakukan upaya impeachment terhadap Presiden Jokowi, karena dianggap tidak sesuai konstitusi.
"Saya sebagai Ketua ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) tidak rela jika umat Islam terjebak dalam adu domba untuk tujuan yang tidak konstitusional. Saya menganjurkan jangan lagi ada demo, sebab tujuannya berpotensi menyimpang dari motivasinya yang semula," katanya.
Seperti diketahui, Sekretariat Bersama Aktivis untuk Indonesia menggelar acara 'Malam Keprihatinan Anak Negeri' di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Acara tersebut bertajuk 'Selamatkan Demokrasi Lawan Tirani'.
Acara ini diikuti oleh beberapa lapisan aktivis yakni mahasiswa, aktivis 98, aktivis 78/79, eksponen 66, aktivis sosial, aktivis pergerakan, aktivis buruh, dan aktivis lingkungan.
Mantan aktivis Reformasi 1998, Sri Bintang Pamungkas mengaku tidak percaya Presiden Jokowi meminta Polri mengusut kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok secara transparan.
Menurutnya hal ini dilakukan Presiden Jokowi hanya sebatas sandiwara semata sehingga memang harus dilawan.
"Tirani ini jangan cuma dilawan, tapi harus dijatuhkan," kata Sri Bintang.
Menurutnya dua Presiden Republik Indonesia, yakni Soekarno dan Soeharto saja bisa dijatuhkan oleh kekuatan masyarakat. Sehingga, tidak mustahil Presiden Jokowi juga bisa dilakukan hal serupa.
"Masa Jokowi tidak bisa jatuh, Soekarno dan Soeharto saja jatuh," katanya.