Jika Tidak Ada Sultan Sesuai UU untuk Jadi Gubernur, DPD Minta Ditunjuk Orang Lain
Bisa saja ada pejabat yang ditunjuk untuk menggantikan sementara Sultan Ngayogyakarta Hadininggrat, jika tidak bisa memenuhi syarat konstitusional.
Penulis: Valdy Arief
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam sidang uji materi Pasal 18 ayat 1 huruf m Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hadir memberikan keterangan.
Lembaga senator itu, diwakili oleh wakil ketuanya, Nono Sampono.
Membacakan pernyataan Pimpinan DPD, Nono menyebut bisa saja ada pejabat yang ditunjuk untuk menggantikan sementara Sultan Ngayogyakarta Hadininggrat, jika tidak bisa memenuhi syarat konstitusional.
Pasalnya, Sultan dan Adipati yang bertahta menghasilkan lembaga negara yang harus diatur dengan aturan wajar.
"Misalnya syarat umur, pendidikan, keterangan kesehatan, dan seterusnya diatur dalam Pasal 18 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012," kata Nono di Ruang Sidang Utama Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (17/11/2016).
Berdasarkan regulasi yang sama, Nono menjelaskan telah ada mekanisme jika nantinya penerus Kesultanan Ngayogyakarta tidak memenuhi syarat menjadi gubernur. Solusi yang ditawarkan UU KDIY adalah penunjukan Adipati Paku Alam sebagai gubernur.
Namun, jika Adipati Paku Alam bertahta juga dinilai tidak lolos persyaratan sebagai wakil gubernur, baru lah ada penunjukan orang luar keraton sebagai pemimpin.
"Pemerintah mengangkat pejabat gubernur setelah mendapat pertimbangan kesultanan dan kadipaten," kata dia.
Pejabat sementara itu hanya menjabat sampai Sultan atau Adipati Paku Alam bertahta dilantik sebagai gubernur atau wakil gubernur.
Terkait hanya adanya kata istri dalam rincian riwayat hidup calon Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta, Nono menuturkan, hal itu mengacu pada pandangan DPD. Dia malah menuding, pemohon uji materi ini berpandangan liberal.
"Bahwa salah satu alasan pemohon bahwa sultan bertahta perempuan, dimungkinkan merupakan perspektif gender liberal dan hal ini tidak relevan dengan konteks kesejarahan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat," kata Nono.
Silsilah Kesultanan Yogyakarta, dinilai DPD juga menganut azas patrilineal. Hal itu disimpulkan dengan melihat sejarah HB I hingga HB X yang kesemuanya adalah laki-laki.
Terkait azas partrilineal dalam Kesultanan Yogyakarta, Hamengkubuwono X membantahnya. Dia menjelaskan bahwa seluruh sultan adalah laki-laki karena kebetulan saja anak dari istri yang berstatus permaisuri adalah laki-laki.
"Kebetulan memang anaknya yang tertua laki-laki semua," kata dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.