Kivlan Zein Bangga Ditangkap Polisi
Kivlan Zein dan 10 orang lainnya ditangkap oleh Polri dengan sangkaan permufakatan untuk melakukan makar pada 2 Desember 2016 pagi
Penulis: Yurike Budiman
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Staf Kostrad, Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein tidak malu selaku jenderal purnawirawan TNI ditangkap kepolisian atas sangkaan melakukan permufakatan makar. Ia justru bangga dan terhormat ditangkap aparat karena sangkaan berkaitan perjuangan politiknya.
"Kalau saya ditarget karena korupsi, mencuri ayam, narkoba, saya malu lah. Tapi, kalau saya jadi target politik, saya enggak malu, saya bangga dan terhormat," kata Kivlan Zein saat ditemui Tribunnews.com di Hotel Borobudur, Jakarta, Sabtu (3/12/2016).
Kivlan Zein dan 10 orang lainnya ditangkap oleh Polri dengan sangkaan permufakatan untuk melakukan makar pada 2 Desember 2016 pagi, atau menjelang massa umat muslim menggelar unjuk rasa damai terkait proses hukum Ahok atau 212 di Silang Monas, Jakarta.
Kivlan mengaku telah menceritakan penangkapannya ini kepada istri dan kelima anaknya. Ia menyampaikan dirinya tidak terlibat makar terkait penangkapannya ini.
Ia meyakinkan istri dan kelima anak-anaknya agar tidak perlu merasa malu atas penangkapannya ini. Sebab, dirinya ditangkap bukan karena korupsi, mencuri atau mengonsumsi narkoba. Tapi, karena penyampaian sikap politik yang berbeda.
"Di mana-mana di dunia ini kalau orang ditangkap karena politik itu bangga. Kenapa? Karena saya bukan pencuri, bukan koruptor, bukan narkoba. Ini kan pidana umum terkait penyampaian secara politik. Di mana-mana kalau berbeda politik itu kehormatan," kata dia.
Menurutnya, istri dan anak-anaknya meski awalnya kaget, namun mereka tidak terlalu bersedih dengan penangkapannya ini. Sebab, keluarganya juga sudah pernah punya pengalaman saat dirinya dituduh melakukan makar semasa era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Dan istrinya hanya berpesan agar dirinya tidak menyalurkan aspirasi politiknya itu dengan cara inkonstitusional, yakni menduduki Gedung MPR/DPR. Dan ia pun memang tidak bernait melakukan itu.
"Saya bilang ke istri, 'Udah, tenang aja, enggak ada apa-apa, saya tidak terlibat untuk makar. Tenang aja, enggak usah malu'. Kalau fitnah saya dibilang makar itu juga sudah terjadi Februari 1999, saya dituduh provokator Ambon oleh Gus Dur, saya lawan. Akhirnya Gus Dur minta maaf kan. Jadi, saya pun enggak mau cara yang destruktif."
Kivlan pun tidak merasa kesal dengan Presiden Joko Widodo maupun Panglima TNI dan Kapolri atas penangkapan ini. Ia dapat memaklumi dan menghormati proses hukumnya ini.
"Biarin aja. Iya mereka pemberi perintah kebijakan, biar saja, mereka adik-adik (Panglima TNI dan Kapolri) saya. Saya ketawa adik-adik saya menangkap saya. Saya ketawa, senang kok main-main begini. Adik-adik kelas saya toh. Kalau dia memerintahkan menangkap orang untuk keamanan, yah kita hormati," ujarnya.
Menurut Kivlan, sikap politiknya yang mendorong dikembalikannya UUD 1945 sebelum amandemen hingga perlunya pencabutan mandat Presiden dan Wakil Presiden adalah dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran untuk rakyat Indonesia. Hal itu merupakan kewajibannya sebagaimana sumpah prajurit TNI.
Menurutnya, pemerintahan saat ini tidak memberikan rasa keadilan dan kebenaran untuk rakyatnya. Oleh karenanya perlu dikembalikannya UUD 1945 lama.
"Dan politik itu untuk mencapai kebahagian, kebaikan, dan kesejahteraan bersama, seperti dikatakan Aristoteles. Kalau UUD yang dipakai tidak baik, yang satu kaya sekali, yang satu miskin sekali, yang satu diusir sana sini kan itu tidak adil. Itu yang harus dibela. Masa' kita takut. Rakyat harus tegakkan keadilan dan kebenaran walau langit runtuh."
(Yurike Budiman)