Surat Edaran Kapolri Dinilai Bisa Menghalangi Penyidikan KPK dan Kejaksaan
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Miko Ginting mengatakan arahan dari Jenderal Tito berpotensi bertentangan dengan hukum acara
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang mewajibkan kepada para penegak hukum lain untuk memperoleh izin darinya dalam upaya penggeledahan, penyitaan dan memasuki lingkungan Polri dinilai merupakan kemunduran.
Penegak hukum lain yang dimaksud seperti KPK, Kejaksaan dan Pengadilan.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Miko Ginting mengatakan arahan dari Jenderal Tito berpotensi bertentangan dengan hukum acara pidana.
"Penggeledahan dan penyitaan merupakan upaya paksa yang diatur dalam KUHAP dan Undang-Undang lain yang mengatur hukum acara di luar KUHAP," kata Miko Ginting di Jakarta, Senin (19/12/2016).
Bahkan dalam Undang-Undang KPK, kata Miko, penyitaan oleh KPK dikecualikan dari ketentuan KUHAP.
KPK dalam melakukan penyitaan, tidak memerlukan izin dari ketua Pengadilan Negeri.
"Arahan ini dalam konteks pidana korupsi juga berpeluang dijadikan alasan bagi tindakan menghalang-halangi penyidikan (obstruction of justice)," kata Miko Ginting.
Menurut Miko, seiring dengan meningkatkanya kepercayaan publik, seharusnya langkah yang dilakukan adalah mendorong pembenahan positif di tubuh Polri.
Nah, arahan Kapolri tersebut dinilai kontraproduktif dengan semangat tersebut.
Sebelumya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian diminta membatalkan surat telegram Nomor KS/BP-21/XII/2016/DIVPROPAM.
Surat tersebut berisi himbauan kepada Kapolda mengenai kewajiban penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan pengadilan untuk memperoleh izin dari Kapolri ketika memanggil anggota Polri melakukan penggeledahan, penyitaan dan memasuki lingkungan Mako Polri.