Gugatan Praperadilannya Ditolak, Buni Yani Sebut Hakim Kaku
Ia menilai hakim terlalu kaku dalam mengambil pertimbangan sebelum memutuskannya.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan terkait SARA, Buni Yani, mengaku kecewa dengan putusan hakim yang menolak seluruh permohonan gugatan praperadilannya.
Ia menilai hakim terlalu kaku dalam mengambil pertimbangan sebelum memutuskannya.
"(Hakim) kaku sekali (dalam) menerapkan dasar pertimbangannya," ujar Buni seusai sidang putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (21/12/2016).
Buni menambahkan, Hakim Sutiyono mengambil putusan tidak mempertimbangkan yurisprudensi yang diajukannya.
Baca: Buni Yani: Saya Bisa Disumpah Pakai Alquran
Adapun yurisprudensi yang dimaksud, terdapat kasus di Bali, yakni seorang warga Bali dituntut Gubernur Bali karena dianggap telah mencemarkan nama baiknya.
Dalam kasus tersebut, warga itu memenangkan gugatan praperadilannya.
"Tadinya saya berharap adanya yurisprudensi praperadilan itu bisa dijadikan putusan hakim. Akan tetapi hakim yang periksa perkara saya sama sekali tidak menggunakan pertimbangan yang ada di Bali itu makanya saya agak kecewa ya," ucap dia.
Meski kecewa, Buni tetap menghargai keputusan yang telah diambil hakim.
Untuk itu, ia bersama kuasa hukumnya siap menatap sidang di pengadilan demi membuktikan dirinya tak bersalah dalam kasus ini.
"Tentu saya hormati apa yang diputuskan majelis hakim. Beliau pesan tadi pas saya salaman biar saya berjuang di pengadilan saja. Jadi ya sudah," kata Buni.
Buni ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik dan penghasutan terkait SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan).
Buni dikenakan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi dan Transaksi Elektronik terkait penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Ancaman hukuman untuk Buni adalah kurungan maksimal enam tahun penjara dan denda hingga Rp 1 miliar.
Penulis : Akhdi Martin Pratama