Peneliti Prediksi Ada 3 Perubahan Pola Terorisme di 2017
Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian mengungkapkan, penanganan kasus terorisme pada 2016 meningkat ketimbang tahun sebelumnya.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian mengungkapkan, penanganan kasus terorisme pada 2016 meningkat ketimbang tahun sebelumnya.
Tahun lalu, Polri menangani 82 kasus terorisme. Jumlah itu meningkat hingga 170 kasus pada 2016.
Tito mengakui bahwa peningkatan kasus terorisme cukup signifikan terjadi dalam setahun terakhir.
Bagaimana 2017?
Tahun 2017 diprediksi masih akan terus dibayang bayangi aksi terorisme. Terutama, dari kelompok ISIS.
Peneliti terorisme UI Ridlwan Habib menilai ada tiga perubahan pola terorisme di tahun 2017.
"Pertama adalah perubahan metode serangan, teroris akan meninggalkan model serangan konvensional misalnya bom dan menggantinya dengan metode lain yang lebih mudah dilakukan, " ujar Ridlwan Habib kepada Tribunnews.com, Kamis (29/12/2016).
Ini merujuk pada fatwa Syekh Muhammad Al Adnani dari Isis yang menyebutkan agar setiap anggota melakukan serangan dengan senjata yang dimiliki.
"Kalau punya pisau gunakan pisau, kalau punya tongkat gunakan tongkat, bahkan ada instruksi agar menabrakkan mobil di keramaian seperti yang terjadi di Berlin, " kata Ridlwan Habib.
Alumni Kajian Intelijen UI itu menyebutkan, metode serangan ini akan membuat aparat makin repot.
"Kalau di pesawat misalnya, teroris tidak perlu membawa bom, mereka bisa saja merusak pintu darurat dan itu sangat membahayakan penerbangan," jelas Ridlwan Habib.
Perubahan yang kedua adalah target serangan. Saat ini, ISIS tidak hanya fokus pada aparat keamanan.
"Target bisa sangat acak. Siapapun yang dianggap membahayakan kepentingan Isis bisa mereka serang. Bahkan tokoh agama sekalipun," ujar Ridlwan Habib.
Ini juga akan merepotkan aparat keamanan karena bisa terjadi di mana saja.
"Kewaspadaan tidak hanya di objek vital tapi juga di lokasi lokasi umum, " kata Ridlwan Habib.
Perubahan yang ketiga adalah pola komunikasi teroris. Mereka menggunakan social media dan fitur komunikasi modern seperti telegram atau whatssapp.
"Ini membutuhkan keterampilan khusus dari aparat kontra teror. Terutama dari komunitas intelijen sinyal, " kata Ridlwan.
Perubahan pola komunikasi ini juga menyulitkan deteksi.
Kelompok teroris juga tidak perlu harus mempunyai safehouse atau basecamp tetap karena bisa berkomunikasi di mana saja.
"Mereka juga bisa berbagi materi materi dan manual berbahaya dengan whatssapp atau telegram, " kata Ridlwan Habib. (*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.