JK Sebut Putus Hubungan Dengan JP Morgan Adalah Hak Indonesia
keputusan Menkeu untuk memutuskan hubungan pemerintah Indonesia dengan lembaga keuangan JP Morgan adalah sebuah hal yang biasa saja
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani untuk memutuskan hubungan pemerintah Indonesia dengan lembaga keuangan JP Morgan Chase Bank, adalah sebuah hal yang biasa saja.
"Saya kira itu biasa-biasa saja, semua hubungan itu biasa saja," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla, kepada wartawan di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta Selatan, Selasa (3/1/2017).
Untuk menetapkan sebuah hubungan berlanjut atau disudahi, Wakil Presiden menegaskan bahwa Indonesia punya kewenangan sepenuhnya.
Oleh karena itu untuk menyudahi hubungan pemerintah dengan JP. Morgan menurutnya Indonesia juga sangat berhak.
"Kan terserah kita, bukan terserah dia," ujar Jusuf Kalla.
Sebelumnya diberitakan, pemutusan kontrak dengan JP Morgan Chase berlaku efektif per 1 Januari 2017.
Lalu, apa sebenarnya riset JP Morgan yang dianggap Kemenkeu berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan?
Mengutip situs Barron's Asia, strategist ekuitas negara-negara berkembang JP Morgan menggeser alokasi portfolio mereka, menurunkan Brazil dari Overweight ke Netral, menurunkan Indonesia dari Overweight ke Underweight, dan Turki dari Netral ke Underweight.
JP Morgan tak menjelaskan secara rinci terkait alasan melakukan downgrade atas Indonesia dan Brazil. Namun, JP Morgan menyatakan, pasca pemilu AS, imbal hasil obligasi 10 tahun bergerak dari 1,85 persen menjadi 2,15 persen.
"Pasar obligasi mulai price in pertumbuhan yang lebih cepat dan defisit yang lebih tinggi. Peningkatan volatilitas ini meningkatkan premi risiko negara berkembang (Brazil, Indonesia Credit Default Swap) dan berpotensi menghentikan atau membalikkan aliran (modal) ke fixed income negara berkembang," demikian riset JP Morgan yang dikutip Barron's.
Barron's menyatakan, kekhawatiran tentang Indonesia meningkat sejalan dengan meningkatnya tekanan sosial di Jakarta. Hal ini terkait dengan aksi unjuk rasa terkait isu penistaan agama.
Pada tahun 2016, investor asing melakukan aksi beli di pasar saham Indonesia sebesar 2,4 miliar dollar AS.
Namun, Barron's menulis, sejalan dengan peningkatan imbal hasil obligasi AS, maka investor asing bisa saja kabur.