Wiranto Jamin Pemerintahan Jokowi Tidak Otoriter
Jangan sampai juga, kata dia, demokrasi terlalu bebas sehingga bisa lebih superior dari hukum dan pemerintah dinilai lemah.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto menegaskan bahwa apa yang sedang dilakukan pemerintah saat ini bukan bentuk sikap yang otoriter. Namun, sebagai bentuk ketegasan pemerintah untuk membangun ketentraman ketenangan keadilan dan kesejahteraan.
"Kalaupun kemudian ada langkah dari pemerintah yang cukup keras yang tegas bukan mengisyaratkan pemerintah ke dalam rezim otoriter seperti yang dituduhkan saat ini. Bukan," tegasnya saat ditemui di Kantor MUI, Jakarta.
"Saya jamin pemerintah Jokowi-JK tidak akan kembali masuk ke satu rezim otoriter," katanya.
Dia menjabarkan ketegasan dan praktik hukum yang dijalankan saat ini, hanya menjaga jangan sampai demokrasi yang berlandaskan kebebasan ini. Jangan sampai juga, kata dia, demokrasi terlalu bebas sehingga bisa lebih superior dari hukum dan pemerintah dinilai lemah.
"Oleh karena itu kembali jangan sampai ada tuduhan bahwa kalau aparat kepolisian bertindak keras untuk menekan rakyat itu bukan,"ujar dia.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin menegaskan, tidak ada fatwa MUI yang disalahgunakan oleh pihak mana pun. Menurutnya, tidak ada yang salah ketika MUI sebagai organisasi Islam, mengeluarkan keputusan.
"Kalau kami mengeluarkan fatwa demi kepentingan Umat Islam, apa itu salah?" ujarnya.
Din mengakui bahwa fatwa MUI bukan hukum positif yang harus dilaksanakan semua pihak, namun bukan berarti MUI tak bisa mengeluarkan pandangan. "Rusak negara ini kalau ulama tidak boleh keluarkan pandangan," tegasnya.
Din juga meminta semua pihak tetap menghormati dan menghargai putusan yang sudah menjadi hak dan kewajiban MUI sebagai organisasi Islam yang independen. "Sebagai organisasi yang otonom, kami tidak perlu melapor untuk mengeluarkan fatwa, hargailah kami yang berkumpul dan berserikat," tutur Din.
Lebih jauh Din menjelaskan sumber masalah sebenarnya adalah peristiwa Pulau Seribu pada 27 September 2016, saat di mana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berpidato dan menyinggung Surat Al Maidah ayat 51.
"Sumber masalahnya yang intoleran, yang anti-kebhinnekaan ya yang ada di Pulau Seribu itu. Anti-kemajemukan dan menyinggung perasaan itu yang membuat instabilitas," kata Din.
MUI sebagai organisasi Islam, lanjutnya, memberikan pandangan dengan mengeluarkan fatwa yang diminta oleh Polri agar dapat ditetapkan status hukumnya."Sehingga tidak benar jika fatwa MUI dikatakan sebagai sumber instabilitas negara," tegas pemilik nama lengkap Muhammad Sirajuddin Syamsuddin tersebut.
Din juga mengkritik media yang tidak melakukan publikasi masif saat peristiwa Pulau Seribu terjadi. Media, kata Din, justru memberitakan gerakan umat Islam yang berlebihan dan tidak sesuai konteks.
"Kenapa justru peristiwa Pulau Seribu tidak diekspose? Padahal itu yang jelas-jelas anti-kerukunan, anti-kebhinnekaan, dan intoleran," tuturnya.
Dalam bermasyarakat, menurut Din, tidak boleh ada pihak yang saling menyinggung masyarakat lainnya, dan hal itu juga tertera dalam ajaran Islam."Apalagi kalau dia bukan se-agama dengan pernyataannya yang intoleran," imbuhnya.
Din juga meminta media bersikap adil dalam pemberitaan, dan tidak melakukan kekerasan verbal terhadap Umat Islam."Dan perlu diketahui, bahwa media yang membela itu, juga telah melakukan kekerasan verbal kepada Umat Islam," ucap Din.(amriyono prakoso)