Fahri Hamzah: Daripada Gunakan Hak Angket, Lebih Baik Hak Interpelasi
Menurut Fahri pemerintah harus menjelaskan terlebih dahulu alasan tak memberhentikan sementara Ahok, dan malah mengaktifkannya kembali jadi gubernur.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai sebaiknya DPR mengajukan hak interpelasi ketimbang hak angket terkait status Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Ahok kini berstatus terdakwa kasus dugaan penodaan agama.
Pemerintah akan meminta saran kepada Mahkamah Agung (MA) sebelum memutuskan status Gubernur Ahok.
Baca: Empat Fraksi di DPR Setuju Hak Angket Ahok
Baca: Hak Angket Ahok Gate Ditandatangani 93 Anggota, Pimpinan DPR Gelar Rapat Besok
Baca: Inisiatif Hak Angket Makin Menguat, Fraksi Nasdem Menghadang
Menurut Fahri pemerintah harus menjelaskan terlebih dahulu alasan tak memberhentikan sementara Ahok, dan malah mengaktifkannya kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta.
"Kepres (Keputusan Presiden) ini menurut saya lebih baik ditanya dulu, jadi interpelasi, lebih cocok penggunaanya ketimbang hak angket. Kalau bisa Presiden (Jokowi) datang sendiri menjelaskan ke DPR," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/2/2017).
Fahri mengatakan, di atas kertas sudah jelas sekali ketentuan untuk memberhentikan sementara Ahok dari jabatan Gubernur DKI.
Hal itu berkaca pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan beberapa kepala daerah yang juga diberhentikan karena berstatus terdakwa.
"Presiden harus menjelaskan itu. Biasanya diwakili menteri, sebaiknya Presiden karena ini interpelasi, Presiden biarkan datang sendiri, sebab ini isu keberpihakan Presiden terhadap Basuki ini kuat sekali," ucap Fahri.
Fahri menilai, jika Presiden tak bicara terkait keputusannya yang tak memberhentikan Ahok, dugaan masyarakat akan keberpihakan Jokowi kepada Ahok semakin kuat.
"Semua kok exceptional kalau sudah terkait Basuki. Di KPK exceptional, padahal sudah ada temuan BPK. Sumber Waras juga. Kasus kemarin (penistaan agama) juga harus didemo besar-besaran dulu baru disikapi. Ini ada apa," lanjut Fahri.
Saat ini, Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun.
Sementara itu, Pasal 156a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.
Soal tak dinonaktifkannya Ahok, Kemendagri beralasan karena dakwaan untuk mantan Bupati Belitung Timur itu alternatif dengan ancaman hukuman kedua pasal bukan minimal lima tahun penjara.
Kemendagri akan menonaktifkan Ahok jika jaksa penuntut umum nantinya menuntut lima tahun penjara.
"Kan sudah saya bilang, itu ancaman lima tahun penjaranya dakwaan alternatif. Mas dan Mbak cek aja di semua pengadilan soal kepala daerah yang saya berhentikan, apa ada yang dakwaan alternatif?" papar Mendagri Tjahjo Kumolo, di Kompleks Parlemen.
Belakangan, Tjahjo berencana meminta masukan MA terkait penafsiran pasal-pasal yang didakwakan terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Rencananya, konsultasi itu akan dilakukan pada Selasa (14/2/2017) besok.
"Kami hargai semua pendapat, kami rencanakan untuk paling lambat besok pagi menyampaikan ke MA," ujar Tjahjo seusai menghadiri rapat bersama Pansus Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu), di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Konsultasi tersebut, kata dia, dilakukan untuk menginventarisasi semua masalah. Salah satunya soal apakah langkah yang dilakukan Kemendagri sudah tepat atau belum.
Penulis : Rakhmat Nur Hakim