Noriyu Bantah Terima 'Fee' atas Pembahasan Anggaran di Kemenakertrans
Mantan Wakil Ketua Komisi IX, Nova Riyanti Yusuf atau Noriyu diperiksa sebagai saksi oleh penyidik KPK
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Ketua Komisi IX, Nova Riyanti Yusuf atau Noriyu diperiksa sebagai saksi oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (21/2/2017).
Usai pemeriksaan, Noriyu mengklaim tidak ikut menerima fee atas pembahasan anggaran untuk dana optimalisasi Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (Ditjen P2KTrans) pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2014.
"Soal itu sudah semua saya sampaikan ke penyidik KPK. Pokoknya saya itu transparan ya, apa yang saya tahu sudah saya sampaikan termasuk berkas-berkas," tegas Noriyu.
Di hadapan awak media, Noriyu mengaku diperiksa sebagai saksi untuk tersangka anggota Komisi II DPR periode 2009-2014, Charles Jones Mesang (CJM).
Selama diperiksa, dia mengaku ditanya seputar pembahasan anggaran di Kemenakertrans. Noriyu mengklaim tidak mengetahui bahwa dalam proses pembahasan anggaran ada penyuapan.
Noriyu melanjutkan penentuan anggaran yang diusulkan Komisi IX berasal dari usulan yang diajukan kementerian atau lembaga yang menjadi mitra kerja. Sedangkan pengesahan anggaran diurus oleh Badan Anggaran DPR.
"Komisi IX hanya bergerak sesuai pengajuan atau usulan dari Kementerian dan lembaga. Jadi kalau terkait dengan anggaran itu bukan tupoksi di Komisi IX," imbuhnya.
Sehari sebelumnya, Senin (20/2/2017) KPK juga memeriksa satu saksi yakni Sugiarto Sumas, Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan.
Sementara Charles sendiri pada Jumat (17/1/2017) lalu sudah diperiksa sebagai tersangka, Charles hadir memenuhi panggil menggunakan rompi tahanan KPK berwarna orange.
Pemeriksaan itu merupakan pemeriksaan perdana setelah sebelumnya Charles resmi ditahan KPK pada Selasa (31/1/2017) silam di Rutan Guntur.
Dalam kasus ini, Charles diduga ikut menerima gratifikasi sebesar 6,5 persen atau Rp 9,75 miliar dari total anggaran optimalisasi di Kemenakertrans senilai Rp 150 miliar.
Atas perbuatannya, Charles dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam persidangan, Jaksa mengungkap Charles turut menerima kucuran dana sebanyak Rp 9,75 miliar dari Jamaluddien.
Uang itu diberikan sebagai wujud realisasi komitmen sebesar 6,5 persen dari dana optimalisasi yang akan diterima oleh Ditjen P2KTrans.
Jamaluddien sendiri sudah divonis bersalah dalam kasus ini. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta menjatuhi hukuman pidana penjara kepada Jamaluddien selama enam tahun dan denda Rp 200 juta subsider satu bulan kurungan.