Ramai Dikecam di Medsos, Acara Makan Malam #MakanMayit, Berfantasi Menyantap Jabang Bayi?
Meskipun begitu, dia memahami masyarakat yang tidak hadir langsung di acara dan tidak memahami konsepnya, akan terpicu untuk takut dan marah.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Makan Mayit yang merupakan acara makan malam "vegetarian" yang disajikan dalam piring boneka bayi yang telah dibelah dan camilan berbentuk bayi, banyak dikecam di media sosial.
Penyanyi Anji Manji lewat akunnya @duniamanji yang punya lebih 756 ribu pengikut mencuit, "membuka isi hestek #MakanMayit di Instagram. Ada camilan berbentuk bayi berdarah-darah dan lainnya. Orang makin kreatif. Makin sakit juga."
Sementara akun Instagram @rosardiles0211 berkomentar, "C'mon guys kalian gak mikir apa kalau ini sangat melukai... para orang tua yang merindukan kehadiran si kecil!! Masih banyak karya seni yang lebih bersahabat dan diterima publik."
Acara yang dilaksanakan pada Sabtu (25/02) di Jakarta tersebut diadakan oleh seniman Natasha Gabriella Tontey bekerja sama dengan Footurama.
Berkonsepkan 'pertunjukan makan malam' untuk 15 orang yang informasinya disebar di media sosial, lewat akun Youtube-nya, Natasha menyebut acara berjudul Makan Mayit ini bertujuan untuk mengeksplorasi "psikodinamika dari fantasi kanibal."
BBC Indonesia berusaha menghubungi Natasha, tetapi tidak mendapat respon.
Salah satu dari 15 orang yang hadir pada acara 'Makan Mayit', aktivis kesetaraan gender dan musisi Kartika Jahja menyatakan aktivitas itu merupakan sebuah "eksperimen".
"Saya ikutan karena yang ditawarkan adalah konsep propaganda. Bagaimana propaganda itu dapat membentuk opini publik, meskipun faktanya tidak seperti itu. Misalnya film G30S/PKI (yang dipertontonkan) dan membuat orang percaya begitu saja."
Lalu eksperimen propaganda seperti apa yang ingin diuji 'Makan Mayit'?
Propaganda apa?
Makanan yang disajikan dalam piring dari boneka bayi yang dibelah itu adalah "makanan vegetarian". Ada kue berbentuk bayi dan sup yang disajikan dalam kantong penyimpanan ASI (air susu ibu).
Kartika bercerita, ketika datang dia telah tahu "tidak akan memakan daging orang. Tapi bagaimana propaganda itu dihadirkan, mempengaruhi pemikiran kita sehingga jadi percaya (itu daging manusia), itu yang ingin saya rasa," ungkapnya kepada BBC Indonesia.
Selain sajian yang berbentuk bayi, 'propaganda' bahwa yang dimakan adalah daging manusia, menurut Kartika dihadirkan lewat atmosfer, musik-musik, yang pada akhirnya membuat Kartika benar-benar "tidak bisa lagi memakan makanan" yang sebenarnya vegetarian itu.
"Di sana juga dihadirkan arkeolog yang memaparkan mengapa pada akhirnya kita manusia tidak apa memakan daging binatang, tetapi tidak untuk daging manusia. Jadi menantang pemikiran juga," tuturnya.
Meskipun begitu, dia memahami masyarakat yang tidak hadir langsung di acara dan tidak memahami konsepnya, akan terpicu untuk takut dan marah.
"Kita yang datang kan sudah siap dengan elemen kejutnya, tetapi mungkin tidak begitu bagi mereka yang tidak datang. Penerimaannya berbeda. Mungkin (acara ini) memang bukan untuk mereka."
Tidak perlu ke sosmed?
Di Twitter, netizen Kinanti Koesandrini, lewat akunnya @naaand, mencuit seharusnya panitia dan peserta tidak perlu mengunggah foto-foto acara di media sosial, "karena Indonesia itu belum siap menerima hal-hal yang 'aneh'."
Hal serupa disampaikan akun @arimajinarie yang menyebut, "Mereka (penyelenggara) harus ingat bahwa kita di timur ini selalu punya kata "tabu" yang terpatri di kening kita."
Hal ini diakui Kartika. "Sayangnya, kami yang datang tak bisa menikmati sesuatu tanpa mengunggah di sosial media. Kalau membangkitkan trauma, saya juga minta maaf," tutur Kartika.
Meskipun begitu, seniman dan pembuat film Joko Anwar menilai 'tidak ada salahnya' mengunggah konten acara Makan Mayit ke media sosial.
"Eksperimen artistik itu kan untuk membuka pikiran orang, baik yang mengikuti ataupun yang akan menerima informasi itu. Akan muncul pertanyaan-pertanyaan. Setiap kali orang dibuat bertanya, itulah fungsi seni. Kalau ada seni tetapi hanya satu arah, itu bukan seni, itu propaganda," ujarnya kepada BBC Indonesia.
Joko sendiri pernah menulis dan menyutradarai Pintu Terlarang (2009), yang salah satunya mengangkat isu aborsi dan kekerasan pada anak.