Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Lama Terpisah, Anak-Anak Johan Teterissa Akhirnya Bertemu Dengan Sang Ayah

Untuk kali pertama setelah hampir sepuluh tahun, Rivaldo Teterissa, anak seorang Tapol berserta kedua adiknya bertemu dengan sang ayah Johan Teterissa

zoom-in Lama Terpisah, Anak-Anak Johan Teterissa Akhirnya Bertemu Dengan Sang Ayah
Quinawaty/KBR
Johnchard Teterissa (kiri), anak Johan Teterissa tahanan politik RMS dan Marchel Les (kanan) sepupu. 

TRIBUNNEWS.COM - Hampir sepuluh tahun tahanan politik Republik Maluku Selatan (RMS) berada di balik jeruji besi di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Mereka divonis 15-20 tahun penjara karena mengibarkan bendera RMS. Hidup jauh dari keluarga, beberapa di antara mereka sudah sakit-sakitan.

Keluarga mereka tengah berjuang agar para tapol dipindahkan ke Ambon, menghabiskan sisa hukuman dekat dengan sanak saudara.

Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).

Untuk kali pertama setelah hampir sepuluh tahun, Rivaldo Teterissa, anak seorang Tapol berserta kedua adiknya bertemu dengan sang ayah Johan Teterissa di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah

“Nyampai sana (Nusakambangan), namanya juga baru pernah ketemu lagi, sedih sih mbak, dari lama, sudah nggak ngelihat papa. Papa waktu ditahan kan kita posisi masih sekolah. Adik juga belum terlalu besar, masih remaja. Kemarin sih ketemu ya sedih juga,” ujar Rivaldo.

“Dari mulai 2007 itu, nggak ketemu sama Bapak. Sampai kemarin 2016 bulan Mei itu, baru sama-sama pak Andreas (Harsono) sama teman-temannya itu baru ketemu Papa ke Nusakambangan,” tambahnya lagi.

Berita Rekomendasi

Johan Teterissa, ayah Rivaldo, adalah satu dari enam tahanan politik Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipenjara di Lapas Nusakambangan. 

Kehidupan Johan di bui, dimulai pada 29 Juni 2007. Hari itu, ia pamit pada keluarganya menghadiri acara Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Ambon.

Johan bertugas memimpin rombongan penari Cakalele di hadapan bekas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan perwakilan negara sahabat.  Tapi menjelang malam, Johan tak kunjung pulang.

“Pas waktu dari kampung itu ke Ambon, kan papa pesan, dia mau ke Ambon dulu, nitip adik-adik. Pas nyampai sana itu, kan nonton di tv, di berita, itu penangkapan mengenai pengibaran bendera RMS. Pas papa ditangkap, aku masih kelas 3 SMA, sedang ujian. Jadi ujian itu tanpa ada orangtua, mama juga nggak ada di situ. Jadi sendiri,” ujar Rivaldo.

Dari televisi, Rivaldo sekeluarga tahu, sang ayah ditangkap lantaran mengibarkan Bendera Republik Maluku Selatan (RMS). Bagi pemerintah Bendera RMS dianggap sebagai simbol separatis.

Bendera RMS terdiri dari warna Biru-Putih-Hijau-Merah. Biru melambangkan laut dan kesetiaan; Putih kesucian, perdamaian, dan pantai putih; Hijau tumbuh-tumbuhan, dan Merah nenek moyang juga darah rakyat.

Setahun setelah kejadian, Johan Teterissa dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas sangkaan pasal Makar. Ia dipenjara di Ambon, kemudian dipindah ke Malang hingga terakhir ke Nusakambangan.

Dari situlah, Rivaldo dan dua adiknya bak anak yatim. Sebagai anak sulung, Rivaldo mengambil tanggungjawab ayahnya begitu lulus SMA.

Ia pun urung mengambil beasiswa kuliah di Ambon, pemuda berusia 26 tahun ini, memilih menyeberang ke Papua mencari pekerjaan.

“Sebenarnya aku dilanjutin kuliah itu ditanggung sama pemerintah, dapat beasiswa dari pulau kami itu ada 10 orang, masuk 10 besar aku. Tapi kalau aku ngelanjutin kuliah, adik-adik gimana, yang lain belum pada sekolah. Makanya waktu itu pas papa ditangkap, langsung aku memberanikan diri itu, ke Papua dulu, kerja di sana 2 tahun,” ungkap Rivaldo.

Papua dipilih Rivalodo, karena baginya sangat sulit mencari pekerjaan di Ambon. Apalagi menyandang status anak tahanan politik.

Pernah suatu ketika, ia dan kerabatnya ditolak bekerja karena memiliki nama belakang Teterissa.

“Kalau khusus buat kita, mau cari kerja di Ambon itu susah banget. Adik John kan pernah ikut tes polisi, pas nyampai administrasi dilihat ama berkas-berkasnya langsung ditolak. Ditanya, kenal nggak ama Johan Teterissa, adik ngomong, iya kenal, itu papa saya. Udah, langsung dibalikin lagi,” ungkap Rivaldo.

“Saya pernah buat lamaran untuk masuk di Bank Danamon, ditolak juga, pas ngebaca itunya. Kalau di Ambon, susah cari kerja. sampai sekarang juga gitu. Bukan kita aja, ada saudara satu marga, tes polisi, ditanya kayak gitu juga, bukan anaknya juga, tapi satu marga, ditolak,” tambah Rivaldo.

Susahnya mencari kerja, juga diakui Johnchard Teterissa, adik Rivaldo.

“Pas dulu 2013, pertama ngelamar di mall Matahari, terus saya masuk sudah hampir sebulan, ditanya sama bosnya kan, saya nggak masuk dulu, besoknya saya masuk saya dipanggil ke ruangannya. Kata dia, kenapa nggak masuk? sakit, Pak, kemarin ke kampung berobat. Terus bokap kamu ikut Harganas, kata saya iya, Johan Teterissa, iya. Terus kata dia, kamu kerja satu bulan aja ya, maaf, soalnya, nggak tahu ngomong instruksi dari yang punya mal atau bagaimana, saya terima aja,” jelas Johnchard.

Rivaldo dan dua adiknya lantas mengadu nasib ke Bekasi, Jawa Barat, menjadi buruh pabrik di Kawasan Industri Cikarang.

Selain ingin mencari penghasilan yang lebih besar, ini dilakukan agar lebih dekat dengan sang ayah.

Harapan mereka pun terkabul. Difasilitasi Yayasan Pantau, tiga bersaudara ini berangkat ke Nusakambangan. Johnchard, yang dikenal paling dekat dengan sang ayah, tak bisa menahan haru.

“Nangis, pas nyampai lihat bokap, langsung nangis saya. (Sempat pelukan) iya pelukan. (Papa juga nangis?) nangis, cuma nggak nunjukkin ke kita. Pas balik alasan ke toilet itu kan, kelihatan matanya kan ada air mata. Ya sudah saya nanya, papa nangis ya? Katanya enggak, banyak debu gitu jawabnya,”  ujar Johnchard.

Johnchard kian pedih hatinya kala mendapati ayahnya tampak kurus. Lelaki berusia 55 tahun itu juga digerogoti penyakit pembekuan darah di tumit.

Belum lagi, bekas penyiksaan semasa di penjara, terlihat jelas di sekujur tubuh ayahnya.

 “Palingan cuma sama fisiknya, kayak ada memar-memar, di tangan sama di belakang. Waktu dibilangin sama papa, ada bekas memar terus ditunjukkan. Bapak cerita waktu masa penahanannya di Ambon terus disiksa, disiksa itu di Ambon doang, kalau dipindah ke sini (Nusakambangan), sudah nggak disiksa lagi. Itu papa ngomong, dia sempat mau ditembak mati, mau ditembak, terus disiram pakai bensin, mau dibakar, ama dibuang ke laut,” terang Rivaldo.

Kini, Rivaldo dan Johnchard berharap ayahnya bisa menghabiskan sisa hukuman di Ambon, dekat dengan sanak saudara.

Mereka dan keluarga tapol RMS lainnya telah mengirimkan surat permohonan pemindahan ke pemerintah.

Upaya ini juga didukung lembaga masyarakat sipil baik di dalam negeri maupun internasional.

“Papa sih ada keinginan, kalau boleh dipindahkan ke Ambon. Biar dekat sama saudara-saudara aja. Kalau di sini kan kasihan, saudara yang lain nggak bisa ke sini, masalah transportasinya jauh. Kalau di Ambon kan dekat, nggak terlalu jauh,” terang Rivaldo.

Andreas Harsono dari Human Right Watch (HRW) mendesak pemerintah segera memindahkan para tapol RMS ke Ambon. Menjauhkan mereka dari keluarga justru melanggar prinsip kemanusiaan dan pemasyarakatan.

“Alasan kemanusiaan, karena yang namanya penjara itu adalah lembaga pemasyarakatan, kita ini memenjara orang bukan untuk menghancurkan dia, secara umum ya, untuk membuat dia menjadi orang yang lebih baik,”  kata Andreas.

“Ya kalau dia dipindahkan begitu jauh dari keluarganya, pertama, hubungan keluarganya jadi terganggu, yang kedua, itu bertentangan dengan prinsip pemasyarakatan, di Indonesia maupun secara internasional. Apalagi orang-orang ini nggak layak untuk dipenjara,” tambahnya lagi.

Sementara, Menteri Hukum dan HAM Yasonna memberi isyarat kuat akan meluluskan permintaan itu. Namun, ia belum bisa memastikan kapan pemindahan akan dilakukan.

“Ya kita pada prinsipnya nggak ada keberatan, jadi saya sudah diskusi sih, ada permintaan juga yang dari Papua dari RMS kemarin. Nanti saya coba cek lagi deh. Tapi prinsip kita nggak ada masalah. Arti kan kalau untuk ke tempatnya kan nggak ada masalah,” uncap Yasonna.

“Nanti aku cek lagi sudah bagaimana prosesnya di Dirjen PAS. Kan ini dianggap makar ya, tapi sebetulnya kan itu hanya cakalele aja waktu itu. Tapi karena terklarifikasi tindak makar ya memang, kalau hanya untuk pindahan itu, barangkali masih bisa kita lakukan lah,” tambah Yasonna.

Penulis: Ninik Yuniati/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)

Admin: Sponsored Content
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas