Lahan Dirampas, Kepercayaan Suku Amungme pada Pemerintah Kian Memudar
Suku Amungme dan Kamoro di Gunung Nemangkawi atau dikenal Grasberg di Timika, Papua, mengalami kekerasan tak berkesudahan sejak Freeport beroperasi
TRIBUNNEWS.COM - Suku Amungme dan Kamoro yang mendiami Gunung Nemangkawi atau dikenal Grasberg di Timika, Papua, mengalami kekerasan tak berkesudahan sejak Freeport beroperasi.
Gunung suci mereka dikeruk, habis ditambang perusahaan asal AS tersebut tanpa persetujuan sang pemilik tanah ulayat. Dan kini, negosiasi baru tengah dilakukan antara pemerintah dengan Freeport.
Belakangan, Komnas HAM menyebut ada dugaan pelanggaran HAM dalam persoalan ini.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Anggota Komnas HAM Natalius Pigai terang menyebut pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia merampas lahan milik suku Amungme.
”Kami menyimpulkan bahwa secara sah dan meyakinkan, pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia telah melakukan penguasaan, perampasan, dan pengambilalihan lahan milik masyarakat adat suku Amungme di wilayah hukum adat Amungsa. Karena mereka tidak mampu membuktikan, di mana, kapan, kamu beli berapa? Ini kan bukan tanah tidak bertuan, tanah milik masyarakat,” ungkap Natalius, Jumat, (24/2/2017).
Pasalnya, sejak penandatangan Kontrak Karya eksplorasi konsentrat tembaga di Nemangkawi atau Grasberg tahun 1967, baik pemerintah maupun Freeport belum pernah melibatkan sang pemilik tanah ulayat.
Ini terlihat dari tidak adanya satu bukti yang dikantongi pemerintah juga Freeport tentang adanya transaksi dengan suku Amungme sebagai pemilik sah.
Simpulan ini, kata Natalius Pigai, merupakan hasil investigasi yang dilakukan lembaganya selama hampir dua tahun.
Pasca Kontrak Karya itu pula, suku Amungme, dalam penyelidikan Komnas HAM, tak bisa leluasa menginjakkan kaki di tanah lahirnya.
“Misalnya masyarakat pemilik hak ulayat tak boleh melintas di wilayah konsesi secara sembarang. Jadi itu bagian intimdiasi. Dia tak bebas melakukan aktivitas di aera perusahaan. Tak bisa mengukur batas wilayah. Jadi kekerasan langsung dan tak langsung,” ungkap Kepala perwakilan Komnas HAM Papua, Fritz Ramandey.
Yopi Kilangin, anak Moses Kilangin salah satu tokoh suku Amungme, mengatakan banyak dari suku Amungme yang kemudian menyingkir. Memulai hidup baru, meski tak mudah, di Kota Timika.
“Banyak semua langsung turun ke Timika. Ada yang tinggal hidup di situ sampai sekarang yang tua-tua. Yang muda ke kota,” ujar Yopi.
Tokoh Masyarakat Papua, Thaha Al Hamid, juga bercerita pilihan untuk menyingkir dilakukan karena melawan pun, sudah pasti kalah.
“Kira-kira kekerasan pertama itu ketika mereka dipaksa meninggalkan kampung leluhurnya. Dan mereka harus pergi jauh dan membangun hidup yang baru. Ada perlawanan? Ada tapi, mereka punya kekuatan apa?,” ungkap Thata.
Meski begitu, ada satu perempuan suku Amungme yang pantang menyerah; Yosepha Alomang. Dia, berkali-kali berdemo. Dan, yang paling membekas adalah aksi pada 1991.
Saat itu, di Bandara Timika, Mama Yosepha membuat api unggun di landasan, sebagai tanda protes dan menolak PT Freeport Indonesia.
Kemudian pada 1994, Mama Yosepha ditangkap karena dicurigai menolong tokoh Organisasi Papua Merdeka, Kelly Kwalik.
Ia bersama seorang perempuan Papua lainnya, Mama Yuliana, dimasukkan ke sebuah tempat penampungan kotoran manusia. Dia dikeram di tempat itu, selama seminggu.
“Negara-negara yang ada, orang pribumi sedikit bicara kasih lumpuh, pasti dipotong leher. Dibunuh. Sampai sekarang habis berapa ribu jiwa yang habis,” kata Mama Yosepha.
Komnas HAM juga mencatat peristiwa di tahun 1990-an, ketika protes tak didengar, suku Amungme nekat merusak pipa-pipa milik Freeport.
“Sejak operasi sampai 1990an, intimidasi terjadi saat masyarakat tak diberi ruang untuk terlibat memberi asprasi. Begitu bicara langsung direpresi. Karena itu tak heran msyarakat marah dan melakukan percobaan merusak pipa-pipa dimana konsentrat dikirim ekspor. Itu bagian dari protes. Tapi mereka ditangkap, dianiaya, dihukum,” ujar Fritz.
Kekerasan lain, kata Fritz, juga dilakukan sekuriti Freeport.
“Kalau kekerasan yang langsung misalnya, ketika masyarakat melakukan protes ada penangkapan dan penganiayaan. Masyarakat buntu menyuarakan hak-haknya melakukan aksi protes justru mereka berbenturan dengan aparat. Masyarakat melakukan pendulangan tapi dianggap pelintasan operasi perusahaan, lalu sekuriti memukul dan merusak alat dulang mereka,” ungkap Fritz.
Sekuriti perusahaan asal Amerika Serikat tersebut tak bisa lagi membendung protes. Sementara aktivitas eksplorasi Freeport dianggap pemerintah sebagai objek vital, maka tentara dan polisi dikerahkan. Di sinilah, suku Amungme berhadap-hadapan dengan negara.
“Sudah pasti mengarah kepada mereka; negara. Yang berapan siapa dari tentara? Tentara dan polisi melakukan upaya pengamanan setelah ada mekanisme legal dari nasional,” ujar Fritz.
Bagi suku Amungme yang telah dirampas tanahnya, lantas ditodong senjata oleh tentara Indonesia, semakin putus asa.
Itu mengapa, kata Yopi Kilangin, kepercayaan suku Amungme dan rakyat Papua pada pemerintah Indonesia, kian memudar.
“Protes-protes masyarakat yang muncul ini ditanggapi dengan tindakan militer. Ini muncul pelanggaran HAM. Tindakan apapun, ketidakpuasan, ataupun perkelahian sekuriti, itu dihadapi dengan alat negara. Kadang-kadang masyarakat pikir, kita protes untuk hidup kita, apakah kita musuh negara?,” ujar Yopi.
Akan tetapi, upaya melawan Freeport lewat mekanisme hukum internasional, pernah dilakukan Mama Yosepha dan Tom Beanal. Juga, sekarang oleh generasi muda Amungme.
Penulis: Quinawaty Pasaribu/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)