KPK Periksa Pegawai Pelindo II
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan pemeriksaan saksi-saksi di kasus korupsi proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane di Pelindo II
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melanjutkan pemeriksaan saksi-saksi di kasus korupsi proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II dengan tersangka mantan Dirut PT Pelindo II, Richard Joost Lino atau RJ Lino.
Terakhir KPK melakukan pemeriksaan saksi di kasus ini pada Rabu (22/2/2017) silam.
Keduanya yaitu Suradji, pegawai pada Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKB) atau PT Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi tahun 2011.
Serta Gatot Darmasto, Deputi akuntan Negara pada BPKP/Direktur Investigasi BUMN dan BUMD tahun 2010 sampai 2013
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan hari ini, Jumat (24/3/2017) penyidik menjadwalkan satu saksi diperiksa untuk tersangka RJ Lino.
"Hari ini ada satu saksi yang diperiksa untuk kasus Pelindo, dia adalah H Kirnoton pegawai Pelindo II," ujar Febri.
Seperti diketahui, kasus ini sempat lamban ditangani karena terakhir RJ Lino diperiksa sebagai tersangka pada 5 Februari 2016.
Hingga awal 2017, RJ Lino tidak pernah diperiksa lagi serta tidak dilakukan penahanan. Bahkan pemeriksaan saksi-saksi di kasus ini juga tidak berjalan lancar.
Terkait penanganan kasus ini, Febri mengakui penanganan berjalan lamban dan memang memerlukan waktu terlebih pihaknya harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum di tiongkok
Di kasus ini RJ Lino diduga melakukan penyalahgunaan wewenang kala menjabat sebagai Dirut Pelindo II untuk memperkaya diri sendiri, orang lain dan korporasi.
Penyalahgunaan wewenang yang dimaksud yakni memerintahkan penunjukan langsung pada perusahaan Wuxi Huangdong Heavy Machinery, asal Tiongkok sebagai pelaksana proyek pengadaan tiga unit QCC.
"Memang butuh waktu untuk menangani kasus ini dan kami terus berkomunikasi dan koordinasi," tambah Febri.
Terlebih kasus ini juga terkait dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sehingga membutuhkan waktu untuk menghitung kerugian uang negara.
"Butuh waktu yang lebih lama dalam proses penyidikan ini utamanya menghitung kerugian negara. Apalagi kan kasus ini lintas negara," tegasnya.