Kematian Patmi Jadi Penyemangat Petani Kendeng Untuk Terus Berjuang
Duka masih terasa di Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Pati. Sebabnya, seorang petani perempuan, Patmi, meninggal kena serangan jantung.
TRIBUNNEWS.COM - Duka masih terasa di Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Pati. Sebabnya, seorang petani perempuan, Patmi, meninggal kena serangan jantung.
Padahal sehari sebelumnya, perempuan berusia 48 tahun itu, baru saja merampungkan aksinya yang ke-8 di depan Istana Negara.
Menyemen kaki sebagai tanda penolakan terhadap tambang semen di Pegunungan Kendeng.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Selasa pagi, gedung LBH Jakarta tiba-tiba kosong melompong. Tak ada lagi jejeran tubuh para petani Kendeng yang berbaring di atas matras, dengan sepasang kaki terpasung semen.
Tak beberapa lama, kabar duka itu datang. Seorang petani perempuan, Patmi, meninggal karena serangan jantung.
Padahal sehari sebelumnya, perempuan berusia 48 tahun itu, baru saja merampungkan aksinya yang ke-8 di depan Istana Negara.
Patmi, meninggal di RS St. Carolus, Jakarta, dan jenazahnya langsung diboyong ke rumahnya di Desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Pati, diantar para dulur petani.
Sebagian besar dari orang-orang sudah berkumpul di rumah Patmi, menunggu jenazah sampai, sembari merapal doa.
Malamnya, tubuh kaku Patmi yang diantar ambulans tiba, dan tangis pun pecah. Nampak wajah ke-dua saudara kandung Patmi, lesu.
Jasmo, Ketua RT setempat, mengaku masih ingat dengan wasiat Patmi sebelum berangkat ke Jakarta.
“Kenangan terakhirnya pas mau berangkat itu yang saya ingat, ya merasa jadi ganjalan pikiran saya kan saya boncengkan dari sini sampai Sukolilo itu kan dijalan begini ngomongnya, sebelumnya tu saya tanya, kamu sudah siap untuk menuntut keadilan? Siap Mo. Kalau siap apakah anda sudah ngomong sama suami? Sudah begitu. Tapi habis ngomong itu kan langsung berpesan sama saya. Yang jadi ganjalan saya itu, pesannya gini, ‘Gini ya Wo, kalau jagung itu mau merabuk, itu nanti rabuknya sudah ada, tolong dibantuin dirabuk dicukupi kalau saya pulangnya lama’,” ungkap Jasmo.
Pria berusia 45 tahun ini juga bercerita, sepanjang hidupnya Patmi tak pernah absen membantu sesama warga.
“Kalau di desa sini sehari – harinya termasuk orang baik, kalau di desa ada kegiatan apa, dia cepat membantu. Kalau sedihnya sedih, tapi merasa bangga, bangganya tekat ibu Patmi membela lingkungan sampai mati – matian merelakan jiwa raganya biar menurun anak cucu, bisa menafkahi anak cucu sampai turun temurun,” ujar Jasmo.
Semakin malam, tamu berdatangan. Salah satunya, Budi Wahyuni, Wakil Ketua Komnas Perempuan. Dia mengatakan, meninggalnya Patmi menunjukan betapa gigihnya seorang perempuan ketika memperjuangkan haknya.
“Perempuan – perempuan yang memperjuangkan haknya ini kan memang acap kali jauh dari keamanan kesehatan, kadang justru tidak memikirkan itu, yang menarik disini sampai harus mempertaruhkan nyawanya karena memang sulit lagi meyakinkan pemerintah harus berbuat seperti apa,” kata Budi.
Namun, kepergian Patmi tidak lantas membuat para petani Kendeng menyerah.
Ngadinah, salah seorang petani yang mengikuti aksi pasung kaki jilid 1, mengatakan meskipun berduka tapi peristiwa ini menambah semangat mereka untuk terus berjuang.
“Kita sebagai dulurnya ya kita berduka, tapi ya kita berpikir, harus seperti apa kita harus selalu semangat, jangan mundur, harus maju terus sampai pabrik semen pun tidak ada masuk disini,” ujar Ngadinah.
Hingga tepat pukul 10.00 malam, jenazah Patmi dikuburkan.
Di Jakarta, kantor LBH, seratusan orang yang terdiri dari aktivis, buruh, dan petani Telukjambe Kawarang, juga menggelar doa, tahlilan, dan tabur bunga atas meninggalnya Patmi.
Foto Patmi, dikelilingi kotak-kotak bekas aksi cor semen. Bunga pun ditebar. Anggota Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Koko mengatakan, Patmi merupakan padma atau bunga bagi para petani Kendeng.
“Kita semua pasti akan mati. Cuma, kita yang bisa memilih jalan mana yang akan dipilih, jalan mencintai ibu pertiwi atau mendurhakai bumi pertiwi. Semoga dengan pulangnya Bu Patmi, seorang penjuang perempuan yang tangguh dan berani dari Pegunungan Kendeng adalah awal momentum muncul dan tumbuhnya bunga perlawanan dari seluruh penjuru nusantara," kata Koko di kantor LBH Jakarta, Selasa (21/03/17).
Sementara anak sulung Patmi, Sri Utami, mengatakan sebelum ke Jakarta ibunya sudah berpamitan pada keluarga. Dan keluarga, merestui dan menyokong perjuangannya.
Kalau pun, kini, nyawa ibunya tiada, keluarga iklas.
“Kemarin itu ibu berangkat itu tidak ada paksaan, sudah pamit pada keluarga. Keluarga juga mengizinkan, karena katanya pamit untuk berjuang, membela anak-cucu, membela tanah air sendiri. Seandainya ada apa-apa, itu pasti karena yang membuat hidup, Gusti Allah, saya Insyaallah bisa menerima. Bagaimana lagi, di garisnya begitu," kata Sri, Selasa (21/03/17).
Petani penolak tambang semen, masih berduka. Dan, kesedihan itu ditambah dengan pernyataan Presiden Joko Widodo kemarin saat berbincang sebentar di sela-sela acara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
"Pak Jokowi, ya itu kalau mengenai izin ya harus tanyanya sama gubernur. Selama ini sudah komunikasi sama gubernur apa belum? bukan hanya komunikasi, kami itu sampai melakukan apapun, jangan sampai pak Ganjar itu mengeluarkan izin dulu. Kalau melihat apa yang dikatakan beliau pak Jokowi, rasanya saya sudah kehilangan bapak, itu yang kami rasakan," kata Gunarti di kompleks Istana, Rabu (22/3/2017).
Gunarti tampak sedih usai bertemu dengan Presiden. Gunarti tak kuasa menitikkan air mata di dekat pilar Istana, jauh dari keriuhan puluhan masyarakat adat yang mengerubungi Presiden Jokowi dan berfoto bersama. Gunarti sembari sesegukan memeluk adiknya Gunarto. Mereka meninggalkan Istana tanpa bersalaman dengan Presiden Jokowi.
Gunarti menuturkan akan menyampaikan tanggapan Presiden tersebut kepada warga Kendeng. Usai mendengar langsung, Gunarti mengaku menjadi yakin bahwa Presiden tidak turun tangan memihak kepentingan warga.
Penulis: Widia Primastika/Sumber: Kantor Berita Radio