MA Bantah Melantik, Bagaimana Legalitas Pimpinan Baru DPD RI?
Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh mereka kepada Pimpinan DPD yang baru bukan pelantikan.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Mahkamah Agung, Suhadi menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh mereka kepada Pimpinan DPD yang baru bukan pelantikan.
Bagaimana secara hukum, legalitas ketiga pimpinan baru DPD RI tersebut?
Pakar Hukum Tata Negara yang juga Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa Oesman Sapta Odang sudah sah menjabat Ketua DPD RI.
Itu karena Wakil Ketua Mahkamah Agung Suwardi memimpin sumpah jabatan pelantikan Ketua DPD RI tersebut. "Saya tidak mau ikut campur, tapi pelantikan dihadiri MA enggak? Berarti secara implisit (MA) mengakui itu sudah benar. Putusan MA Alhamdulillah dilaksanakan," kata Jimly.
Terkait pernyataan Jimly itu, pengamat politik Maksimus Ramses Lalongkoe mengatakan, pernyataan Jilmy sebagai seorang pakar hukum yang dihormati di negara ini sudah tepat.
Proses pemilihan dan pelantikan Oesman Sapta Odang dan dua pimpinan DPD lainnya kata dia sudah melalui mekanisme yang lazimnya terlebih dahulu dimulai dengan mencabut Peraturan Tatib 1/2017, lalu mengesahkan Peraturan Tatib 3/2017 dengan mengikuti pertimbangan hukum MA baru dilakukan pelantikan.
Sehingga MA melantik bukan dengan Tatib 1/2017 tetapi dengan Tatib 3/2017.
"MA kalau melantik pimpinan DPD dengan tatib yang baru maka itu benar. Tetapi kalau menggunakan yang lama salah. Karena faktanya dengan Tatib baru, maka menjadi kewajiban MA untuk melantiknya. MA sudah tepat," kata Ramses.
Ramses melihat komposisi pimpinan DPD RI saat ini sangat bagus dan mewakili banyak kelompok.
"Pak OSO adalah seorang pengusaha dan politisi sukses, Pak Nono Sampomo seorang militer dan Ibu Darmayanti Lubis seorang akademisi. Jadi klop," kata dia.
Dengan komposisi yang mewakili semua unsur, Ramses meminta pimpinan DPD RI mulai bekerja, terutama membangun marwah dan kekuatan DPD sebagai lembaga daerah.
"Fokus pimpinan sekarang saya kira adalah bekerja. Yang kalah diminta legowo dan menyudahi polemik yang tidak kondusif untuk DPD RI. Anggota yang suka ribut harus ada rasa malu sama rakyat. Kalau ketua DPD yang lama M Saleh saja ikhlas, kok yang lain belum juga ikhlas," kata dia.
Sementara itu Oesman Sapta Odang bersikeras, proses pemilihannya sah dan tak ada yang menyalahi aturan.
"Perbedaan pendapat sudahlah, jangan lagi menjadi polemik dalam pemerintahan karena itu kan merugikan anak bangsa,"ujarnya.
"Kalau anda lihat mekanisme organisasi tatib dan terjadi seperti yang begitu tegang. Kenapa tidak?" tutup OSO.
Bisa Rangkap Jabatan
Oesman Sapta Odang (Oso) secara resmi telah menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Namun secara bersamaan Oso masih jadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.
Ketua Fraksi PKB di MPR RI Lukman Edy menilai OSO bisa merangkap dua jabatan sekaligus. Pasalnya di dalam Tata Tertib MPR tidak diatur mengenai tambahan jabatan.
"Di dalam Tatib MPR tidak diatur. Karena tidak diatur bisa jadi nanti bisa dibolehkan bisa tidak dibolehkan," ujar Lukman.
Lukman memaparkan pada jabatan-jabatan lain di parlemen juga masih diperbolehkan. Lukman menyebut contoh dirinya menjadi Wakil Ketua komisi II di DPR sekaligus Ketua Badan Sosialisasi MPR.
Melihat fenomena baru di parlemen, Lukman menyarankan agar MPR membuat kajian mendalam terkait rangkap jabatan. Hal itu mengacu kepada UU, baik MD3 dan UUD.
"Karena kasus baru, MPR perlu kajian secara mendalam, berdasarkan kepada UU yang ada, baik MD3, maupun UUD. Kalau tidak diatur maka, silahkan kebijakan internal MPR seperti apa," kata Lukman.
Lukman pun berharap pimpinan MPR harus melakukan rapat gabungan untuk membahas soal rangkap jabatan OSO di DPD dan MPR. Karena dari hasil rapat tersebut bisa menambahkan Tatib baru di MPR.
"Setelah rapat gabungan, kalau misalnya mau bikin aturan baru di Tatib, MPR harus melakukan sidang Paripurna, kalau dorongan merangkap jabatan tidak dipebrolehkan," kata Lukman.
"Tapi sejauh ini tidak ada larangan, maupun kebiasaan antar lembaga di parlemen ini," ujar Lukman.(fajar/amriyono)