Ini Aksi Nekat Aktivitas Demi Menghentikan Proyek PLTU Batubara
Proyek PLTU Batubara di Batang, Jawa Tengah, dituding menabrak kawasan konservasi laut di Pantai Utara Jawa.
TRIBUNNEWS.COM - Proyek PLTU Batubara di Batang, Jawa Tengah, dituding menabrak kawasan konservasi laut di Pantai Utara Jawa.
Dugaan tersebut kuat, sebab dalam waktu dua tahun aturan konservasi laut di Pantai Utara Jawa direvisi sebanyak tiga kali, demi mengakali keberlanjutan megaproyek itu. Betulkah tudingan tersebut?
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Terik matahari di perairan Roban Timur, Batang, Jawa Tengah, begitu menyengat.
Sekitar delapan jam sudah ratusan nelayan dan puluhan aktivis koalisi Break Free: Greenpeace, Walhi, Jatam, menggelar aksi di laut lepas, menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara.
Di tengah perairan itu, beberapa aktivis memanjat crane kapal setinggi 12 meter. Begitu sampai di puncak, mereka membentangkan spanduk berlatar kuning bertuliskan: END COAL.
“Kita ingin menyampaikan pesan yang kuat juga kepada para pendana-pendana internasional yang selama ini menjadi pemain besar di ekspansi batubara, khususnya dana tersebut dari Jepang dan Cina. Meskipun sudah ada jaminan dan garansi dalam bentuk regulasi dan hukum kepada proyek ekspansi batubara ini. Tetapi itu tidak mengendorkan perjuangan masyarakat,” ungkap Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika.
Proyek PLTU Batang menghabiskan dana Rp 40 triliun dan didanai dari pinjaman Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
Dimana pengerjaannya diserahkan pada PT Bhimasena Power Indonesia (BPI), yang merupakan perusahaan gabungan dari tiga perusahaan.
Yakni dua perusahaan yang berbasis di Jepang; Electric Power Development Co dan ITOCHU Corporation dengan masing-masing 34 persen dan 32 persen.
Serta PT Adaro Power, perusahaan swasta di Indonesia dengan 34 persen saham. Sedangkan pemerintah, hanya calon pembeli tenaga listrik yang dihasilkan PT BPI.
PLTU Batang pun digadang-gadang bakal mumpuni menjaga pasokan listrik di Pulau Jawa lantaran kapasitasnya yang mencapai 2x1.000 Megawatt.
Dan dalam hitungan PT BPI, pembangkit ini akan rampung pada Juni 2020. Tapi Presiden Joko Widodo, minta dipercepat setahun.
Hingga kini, PLTU Batang masih dalam tahap pra-konstruksi; pondasi, kantor sementara, tiang pancang, serta dermaga atau sekitar 20 persen dari keseluruhan pembangunan.
Hanya saja, megaproyek ini dituding menabrak kawasan konservasi laut di Pantai Utara Jawa. Itu mengapa ratusan nelayan di sana, protes. Sebab merekalah yang bakal kena imbasnya.
“Yang kedua terkait dengan KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah) Roban Ujung Negoro. Nah itu dibuat di 2010, tapi kemudian dilakukan revisi. Peta itu digeser di 2011 dan digeser lagi di 2012. Di mana kemudian penggeseran itu kalau kita telusuri, itu menyesuaikan dengan peta rencana pembangunan PLTU Batang,” kata Hindun Mulaika.
Kawasan Konservasi Laut Dasar (KKLD) Roban Ujung Negoro itu adalah kawasan perlindungan dan pelestarian terumbu karang, yang sudah sepatutnya dijaga.
Hal itu pun ditetapkan dalam Surat Keputusan Bupati Batang Nomor 523/283/2005, tertanggal 15 Desember 2005 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Pantai Ujungnegoro-Roban, Kabupaten Batang.
Luasnya 6.800 hektar dengan panjang bentang pantai sejauh tujuh kilometer.
Dalam SK itu juga, disebutkan jenis flora berada di KKLD Roban Ujung Negoro dan harus dilindungi; cemara laut, ketapang, bakau. Sementara faunanya; kira-kura blimbing, udang lobster, hiu macan, dan lumba-lumba darat.
Tapi apa yang terjadi? Demi PLTU Batubara, Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, pada 2012 merevisinya. Sehingga luasan kawasan itu menjadi 4.015 hektare. Yang meliputi wilayah laut 3.480 hektare dan darat 534 hektare.
Ini terlihat dari Peta Struktur Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah. Dimana Kawasan Konservasi Laut Dasar (KKLD) Roban Ujung Negoro bergeser dari timur ke barat laut, demi memberi ruang pada megaproyek puluhan miliar itu.
Menanggapi tudingan itu, PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) mengaku sudah memperhitungkan berbagai aspek termasuk lingkungan dalam pembangunan pra-konstruksi.
Melalui pesan pendek, Juru Bicara PT BPI, Ayu Windiyaningrum, menyebut sudah mengantongi semua memenuhi semua persyaratan.
“Soal pembangunan dermaga sudah memperhitungkan berbagai aspek, termasuk lingkungan. Demikian juga dengan berbagai perizinannya semuanya telah dipenuhi. Untuk nelayan, kami juga membuat rumah ikan sebagai habitat buatan untuk ikan dan sudah dipasang/ditenggelamkan di laut dari akhir 2016, Januari lalu. Mulai dari pembuatan rumah ikan sampai pemasangan seluruhnya melibatkan nelayan, dengan menggunakan kapal-kapal nelayan juga. Sosialisasi ke nelayan juga dilakukan beberapa kali untuk menjelaskan program dll,” ungkap Ayu.
Sementara orang nomor satu di Kabupaten Batang terlihat tak pusing dengan permasalahan yang dialami nelayan. Menurut Pelaksana tugas Bupati Batang, Nasihin, pembuangan lumpur hanya bersifat sementara.
“Terkait dengan pemasangan tiang pancang. Memang dibuang di laut. Ini kan masih tahap awal pemasangan. Tapi yang jelas semua aspek kegiatan di sana sudah dianalisis dampak lingkungannya. Kalau sudah selesai ya dibersihkan lumpur itu,” kata Nasihin.
Nasihin juga menampik tudingan Greenpeace yang menyatakan Kawasan Konservasi Laut Dasar (KKLD) Roban Ujung Negoro, sengaja diperkecil demi PLTU Batubara.
“Masalah konservasi dan lainnya sudah selesai dan diubah. Dan tata ruang launya sudah diubah sesuai aturan yang berlaku. Pendek kata tidak ada pelanggaran aturan-aturan terkait dengan konservasi itu,” ungkap Nasihin.
Kendati demikian, Nasihin akan menagih komitmen PT BPI jika nantinya kerugian-kerugian nelayan Roban Timur terbukti karena pembangunan PLTU Batang.
“Sesuai dengan janji awal komitmennya kalau memang menimbulkan kerusakan, perusahaan bersedia mengganti. Nanti kita cek, kalau betul-betul merusak perusahaan akan mengganti,” Nasihin.
Di sisi lain, kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika, kelanjutan PLTU Batang membuktikan Indonesia tidak memiliki komitmen terhadap Kesepakatan Paris.
Padahal Indonesia bersama 171 negara lainnya sudah menandatangani kesepakatan tersebut di New York, Amerika Serikat, pada April 2016.
“Kalau kita mengacu pada Paris Agreement untuk menghindari kenaikan suhu bumi sampai 2 derajat celcius per tahun itu harus terjadi dekarbonisasi 2020. Berarti sudah tidak boleh ada lagi PLTU-PLTU baru. Jadi kalau kita bicara,” Hindun.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.