Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Awali Bacakan Pledoi, Ahok Kutip Tulisan Penyair Goenawan Mohamad

"Izinkan saya mengutip sebuah tulisan Goenawan Mohamad," kata Basuki Tjahaja Purnama

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Awali Bacakan Pledoi, Ahok Kutip Tulisan Penyair Goenawan Mohamad
capture youtube
Sidang kasus dugaan penodaan agama kembali berlangsung di auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pun menyusun pleidoinya sendiri, yakni sekitar 10 hingga 20 halaman. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam pledoi yang ditulisnya sendiri, Ahok mengutip tulisan penyair dan pendiri Tempo, Goenawan Mohamad serta berkisah tentang pertemuannya dengan sejumlah siswa TK yang diajaknya berbicara tentang film Finding Nemo, sementara pengacara menyampaikan pledoi setebal 634 halaman.

"Saya ingin menegaskan bahwa selain saya bukan penista/penoda agama, saya juga tidak menghina suatu golongan apa pun," katanya.

"Izinkan saya mengutip sebuah tulisan Goenawan Mohamad," kata Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kepada Ketua Majelis Hakim, Dwiarso Budi Santiarto.

"Stigma itu bermula dari fitnah. Ia tak menghina agama Islam, tapi tuduhan itu tiap hari diulang-ulang; seperti kata ahli propaganda Nazi Jerman, dusta yang terus menerus diulang akan jadi "kebenaran", Ahok mengutip bagian dari tulisan berjudul 'Stigma' yang ditulis Goenawan Mohammad.

"Kita mendengarnya di masjid-masjid, di media sosial, di percakapan sehari-hari, sangkaan itu menjadi bukan sangkaan, tapi sudah kepastian," lanjut Ahok.

Ahok kemudian melanjutkan kutipan tulisan Goenawan itu:

"Walhasil, Ahok diperlakukan tidak adil dalam tiga hal: difitnah, dinyatakan bersalah sebelum pengadilan, diadili dengan hukum yang meragukan."

Berita Rekomendasi

Dan kemudian, Ahok mengutip bagian akhir tulisan itu, yang ditulis sesudah kekalahan Ahok di Pilkada 19 April 2017 lalu.

"Ahok kalah, ia bahkan masih bisa dijatuhi hukuman dalam proses pengadilan yang di bawah tekanan aksi massa itu. Jangan-jangan kebenaran juga kalah - di masa yang merayakan 'pasca-kebenaran' kini," katanya.

Usai mengutip tulisan Goenawan Mohammad, dalam nota pembelaannya Ahok berkisah tentang pertemuannya dengan sejumlah anak dari sebuah taman Kanak-kanak (TK) yang datang ke Balai Kota.

Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto sempat memperingatkan.

"Saudara terdakwa harap fokus kepada hal-hal yang relevan dengan perkara," katanya, yang disanggupi oleh Ahok.

Ahok melanjutkan, bahwa ia ditanya anak-anak itu tentang anak-anak TK itu. "Mereka bertanya, mengapa saya kok mau melawan arus," katanya.

Kemudian, katanya, Ahok mengajak anak-anak TK itu menonton film animasi Finding Nemo, tentang seekor bapak ikan yang berjuang menyelamatkan anaknya. Bagaimana bapak ikan itu melawan arus, untuk menyelamatkan Nemo, anaknya.

Ahok mengibaratkan dirinya seperti Nemo, yang memutuskan untuk melawan arus demi keselamatan dan kesejahteraan orang banyak.

Ahok menegaskan lagi bahwa pidatonya di Kepulauan Seribu dimaksudkan sebagai kritik terhadap politikus yang memperalat agama.

Pledoinya setebal 634 halaman

Sidang dilanjutkan dengan pembacaan nota pembelaan pengacara setebal 634 halaman.

Dalam sidang ke 18 sebelumnya, Jaksa menganggap Ahok terbukti melanggar pasal 156 KUHP tentang menyatakan permusuhan dan kebencian terhadap suatu golongan, namun menganggap Ahok tak terbukti melanggar pasal 156a tentang penistaan agama.

Para penentang Ahok, antara lain kelompok Advokat Cinta Tanah Air, salah satu kelompok yang melaporkan kasus ini, menganggap tuntutan itu terlalu ringan dan menuduh ada rekayasa,

Sebaliknya, salah satu pengacara, Teguh Samudera, menjelang sidang mengatakan bahwa yang merupakan rekayasa justru adalah upaya pemidanaan Ahok.

"Seluruh rangkaian persidangan menunjukkan, tak ada kesengajaan dan niat merendahkan dari pak Basuki dalam pidato di Kepulauan Seribu itu," kata Teguh Samudera.

"Pidato itu justru penyadaran agar warga tetap bebas menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada. Tidak ada kata-kata yang kasar, tak ada yang meresahkan," katanya.

Baca: Bacakan Pledoi, Ahok Merasa Jadi Korban Fitnahan Buni Yani

Pidato Ahok yang menyebut Surat Al Maidah 51 yang dilaporkan dan kemudian berujung pada pengadilannya terjadi pada 27 September 2016, saat melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

Fifi Lety Indra, pengacara Ahok yang lain menyatakan bahwa nyatanya saat itu tak ada warga di Pulau Pramuka itu yang marah atau protes.

"Semuanya baik-baik saja, juga setelah videonya diunggah oleh Pemprov DKI. Hingga sembilan hari kemudian, setelah Buni Yani menggunggahnya di akun dia dengan menambahkan kalimat-kalimatnya sendiri, dan mengedit kata-kata Pak Basuki," katanya.

Sumber: BBC Indonesia
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas