Syafruddin Tumenggung Tersangka, KPK Bidik Inpres Megawati
Basaria Panjaitan meyakini Syafruddin akan menjadi pintu masuk untuk membongkar kasus ini dan menetapkan tersangka lain.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bisa saja kebijakan Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri menerbitkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dipersoalkan.
Inpres tersebut diketahui berisi tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
Hal tersebut dikatakan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat ditanyakan terkait keluarnya Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
Inpres tersebut dikeluarkan dan ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Menurut Basaria, kebijakan itu bisa saja menjadi tindak pidana korupsi apabila di dalam proses yang berjalan muncul adanya suatu manfaat yang diambil oleh orang yang mengeluarkan kebijakan.
Manfaat atau keuntungan itu bisa untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau orang lain.
"Kemungkinan bisa saja, tapi sampai hari ini kami fokus ke tersangka SAT, yang seharusnya dibayar dulu Rp 4,8 triliun, baru ada SKL," kata Basaria.
Basaria Panjaitan juga memastikan dan berjanji pengusutan kasus ini tidak hanya berhenti dengan penetapan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka.
Basaria Panjaitan meyakini Syafruddin akan menjadi pintu masuk untuk membongkar kasus ini dan menetapkan tersangka lain.
"Pengusutan kasus SKL BLBI pastinya tidak akan berhenti sampai di sini (penetapan Syafruddin sebagai tersangka)," tegas Basaria Panjaitan.
Sebelumnya, usai melakukan penyelidikan sejak tahun 2014 dengan meminta keterangan dari banyak pihak, akhirnya tahun 2017 penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan eks Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Basaria Panjaitan mengatakan penyidik telah meningkatkan perkara ini ke tingkat penyidikan dan memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan tersangka terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung.
"Tersangka SAT diduga telah menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara hingga Rp 3,7 triliun dengan penerbitan SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim," ujar Basaria.
Basaria Panjaitan menjelaskan kasus tersebut berawal ketika Syafruddin menjabat sebagai Ketua BPPN pada April 2002. Kemudian pada Mei 2002, Syafruddin menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) atas proses litigasi terhadap kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun.