Skorsing Mahasiswa Telkom: Buku Bukan Ancaman Tapi Tonggak Peradaban
Universitas Telkom di Bandung, menskorsing tiga mahasiswanya karena membuka lapak buku di Perpustakaan Apresiasi.
TRIBUNNEWS.COM - Universitas Telkom di Bandung, menskorsing tiga mahasiswanya karena membuka lapak buku di Perpustakaan Apresiasi.
Yang jadi masalah bagi kampus, dari puluhan buku itu, ada tiga yang dianggap berbau komunis.
Keputusan skorsing itu, lantas memunculkan protes dan solidaritas bagi tiga mahasiswa tersebut. Namun betulkah buku-buku itu mengandung ajaran komunis?
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Tiga mahasiswa Universitas Telkom di Bandung; Sinatrian Lintang Raharjo jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Bisnis; Fidocia Wima Adityawarman jurusan Bisnis Telekomunikasi dan Informatika; dan Lazuardi Adnan Faris mahasiswa jurusan Teknik Informatika, dijatuhkan skorsing.
Dasarnya karena Lintang dan Fidocia Waima Adityawarman atau Edo, membuka lapak buku berbau kiri di sekitar kampus.
Buku itu adalah Manifesto Partai Komunis yang ditulis Karl Marx dan Friedrich Engels, serta dua buku terbitan Tempo, yakni Buku Edisi Orang Kiri Indonesia: Njoto - Peniup Saksofon di Tengah Prahara dan Musso - Si Merah di Simpang Republik.
Sedang Lazuardi Adnan Faris diskorsing karena memimpin aksi demonstrasi di kampus dan mencemarkan nama baik kampus.
Tapi, lama skorsing antara ketiganya, berbeda-beda. Lintang enam bulan, sejak 16 Januari hingga 18 Mei mendatang.
Sementara skorsing terhadap Fidocia Wima Adityawarman atau Edo dan Lazuardi Adnan Faris, berakhir 16 Maret lalu.
Saat ini Edo sudah bisa mendaftar sidang S1. Sedang Faris, nilai serta absensinya sudah dipulihkan.
Namun sial, karena pihak kampus tak juga mencabut Surat Keputusan (SK) skorsing ketiganya. Padahal, kata Faris, SK skorsing, seperti catatan “kriminal” bagi mahasiswa.
“Kawan-kawan ini baru nunggu kita clear dulu. Menunggu kita beres, baru kawan-kawan mengajukan tuntutan UKM tersebut. Jadi SK yang sudah keluar baru dua. Aku sama Edo, karena sudah selesei menjalani skorsing,” ungkap Faris.
Demi mencabut SK itu, mereka kembali menghadap Warek IV, Yahya Arwiyah.
Tapi boro-boro SK dicabut, mereka justru diminta menandatangani surat pernyataan tidak mengulang hal serupa.
Mereka pun diminta untuk tidak menyebarkan persoalan tersebut ke media. Lintang dan Edo menerima permintaan itu, sedang Faris menolak.
“Pihak kemahasiswaan itu menawarkan kamu membuat surat di atas materai 6000, untuk tidak membawa permasalahan ini ke media manapun. Ayah saya pesan mengalah untuk menang. Ok saya sedikit melunak. Saya tanya balik. Apakah ketika menandatangani surat tersebut kasus saya diputihkan dan dikembalikan. Jawabannya, oh belum tentu, itu tergantung pimpinan. Wah itu jebakan batman,” ungkap Faris.
Dukungan pada Lintang, Edo, dan Faris terus bergulir. Di Gedung Indonesia Menggugat di Bandung pada pertengahan Maret lalu, puluhan orang menggelar aksi solidaritas.
Juru Bicara dari Solidaritas Rakyat Untuk Demokrasi, Bara Malik Annasir, mengatakan apa yang dilakukan kampus dengan menyita buku adalah tindakan tak peduli literasi.
“Soal buku adalah soal demokrasi. Buku adalah tonggak peradaban. Kami menilai itu tindakan yang sangat fatal yang dilakukan rektorat. Makanya logis kalau konsekuensinya harus turun dari jabatan,” ungkap Bara.
Tak hanya aksi solidaritas sesama aktivis, Lintang, Edo, dan Faris sampai mengadukan masalah ini ke Komnas HAM, 10 April lalu.
Dalam pertemuannya, Komnas akan memediasi pihak kampus, untuk mencabut SK skorsing mereka.
Sementara itu, diskusi mengenai komunisme di Universitas Telkom masih tertutup.
“Aku sering bertemu kawan-kawan setelah kasus ini naik, mereka datang. Mereka lucu melihat ini terjadi. Buku itu seperti pisau untuk mengiris dan membunuh. Ada tidak orang yang membaca buku kiri, dan menyebut komunis. Ini bukan suatu keanehan, bukan tabu. Mereka harus tahu fakta sejarah,” ujar Faris.
Malah, dalam sebuah mediasi dengan pihak kampus, rektorat dan Yayasan Pendidikan Telkom YPT menawarkan pembentukan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Perpustakaan Apresiasi.
Dengan catatan, kata Juru Bicara Telkom University, Dedi Kurnia Syah Putra, kegiatan itu akan didampingi satu dosen pembimbing.
“Kami ingin mendidik anak-anak kami dengan teknologi, ekonomi, art. Kalau ada kepentingan di luar itu, kami tidak menghalang-halangi, tapi kami punya prosedur yang clear. Kalau prosedur itu dilanggar, maka kami akan mengeluarkan statment. Apa itu sanksi atau teguran. Kalau sanksi pun tidak langsung, kami punya teguran dulu, baik itu di tingkat fakultas maupun universitas,” ungkap Dedi.
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid menyebut ketakutan bangkitnya komunis tak bisa dijadikan dasar penyitaan buku.
"Kalau soal penyitaan dasarnya apa. Dasar hukumnya apa. (Dasar soal kebangkitan PKI?) menurut saya itu berlebihan, dia ngga punya dasar yang kuat. itu partai udah mati 50 tahun lalu dan tidak ada kemungkinan dua generasi sebuah organisasi politik itu bisa survive,” ungkap Hilmar.
Lintang masih heran, mengapa buku-buku itu menjadi ancaman. Toh, semua buku-buku itu resmi diterbitkan.
“Saya ngebela bahwa ini buku sejarah. Kita cuma menyediakan buku, buku legal, resmi yang diterbitkan di mana saja. Tapi pak Warek tetap bilang buku ini dilarang,” ungkap Lintang.
Penulis: Eli Kamilah/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)