Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Begini Suasana Panas Rembang Akibat Pro Kontra Pabrik Semen

JMPPK adalah kumpulan warga juga petani di deret Pegunungan Kendeng Utara yang menolak tambang dan pabrik semen di Jawa Tengah.

zoom-in Begini Suasana Panas Rembang Akibat Pro Kontra Pabrik Semen
Nurika Manan/KBR
Reruntuhan tenda perjuangan yang dirusak orang tak dikenal pada 11 Februari 2017. 

TRIBUNNEWS.COM - Bupati Rembang Abdul Hafidz menyebut warganya adem dan gayeng, masih sama seperti beberapa tahun lalu. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari keberadaan pabrik PT Semen Indonesia.

Baik soal lingkungan maupun konflik sosial. Kabar soal ricuh di Rembang, kata dia, hanya bisa-bisa media sosial belaka. Tapi apa sebetulnya yang terjadi di sana?

Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).

“Ibu bumi wis maringi, Ibu bumi dilarani, Ibu bumi kang ngadili, La ilaha illallah, Muhammadur rasulullah... (Ibu bumi sudah memberi. Ibu bumi disakiti. Ibu bumi yang mengadili...)”

Syair itu diciptakan Gunretno, tokoh sedulur sikep sekaligus Koordinator JMPPK Pati.

JMPPK, kependekan dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, adalah kumpulan warga juga petani di deret Pegunungan Kendeng Utara yang menolak tambang dan pabrik semen di Jawa Tengah.

Mereka kerap menyanyikan syair itu dengan nada minor pada setiap aksi protes.

Berita Rekomendasi

Dari Semarang menuju ring 1 tapak pabrik PT. Semen Indonesia di Rembang, nama Gunretno terpampang di spanduk berukuran 7x1 meter. Isinya: "Stop Konflik Sosial, Usir Gunretno dari Rembang".

Spanduk lain, bertulis: "Rembang Ingin Maju Bersama Pabrik Semen".

Gunretno adalah petani asal Pati. Tapi spanduk pengusiran atas dirinya sampai ke Rembang. Agak aneh, meski dua daerah tersebut memang sama-sama menolak tambang dan pabrik semen.

Di Pati, anak usaha Indocement, yaitu PT Sahabat Mulia Sakti, berusaha masuk menambang. Sedang di Rembang, ada PT Semen Indonesia.

Namun khusus di Rembang, warga di tiga desa, yaitu Kadiwono, Pasucen, dan Kajar, terang mendukung.

Sementara dua desa lain, yaitu Timbrangan dan Tegaldowo, terpecah antara yang pro dan kontra. Perbedaan sikap tersebut, menurut Bupati Rembang Abdul Hafidz, terbilang wajar. Lagi pula, klaimnya, hanya 10 persen warga yang tak setuju.

“Yang saya sayangkan, sebagian kecil masyarakat ini ditumpangi pihak lain, dikompori, dan diberi informasi yang kurang tepat. Inilah yang menyebabkan seolah-olah Rembang punya persoalan yang menimbulkan konflik, baik sosial maupun horizontal, saya pastikan dari dulu tidak ada konflik. Saya ini sudah hampir 3 tahun kehilangan sabar saya,” tukas Abdul Hafidz.

Karena itulah, ia siap pasang badan demi kelanjutan proyek dan investasi senilai Rp 5 triliun tersebut.

Apalagi, pabrik PT Semen Indonesia sudah 99 persen rampung. Tabung-tabung raksasa warna perak terlihat menjulang ke angkasa. Penampakannya mencolok sebab bangunan itu terletak di tengah hijaunya hamparan sawah.

Pro-kontra tambang semen begitu terasa. Di sepanjang jalan ring 1 pabrik semen di Rembang, spanduk-spanduk saling silang terpasang berisi dukungan juga penolakan.

Papan segi empat bertulis: "Kendeng Lestari" atau "Tolak Pabrik Semen" saya jumpai di beberapa rumah. Pun rumah dengan bendera PT Semen Indonesia.

Bahkan sekali waktu, ada gambar menyerupai piramida berwarna merah menempel di tembok rumah. Gambar itu logo PT Semen Indonesia. Yang begitu, pemilik rumah belum tentu mendukung. Tapi pasti, bangunan tersebut berasal dari dana CSR perusahaan.

Melihat kondisi ini, Komnas Perempuan yang beberapa kali turun ke Rembang, menemukan indikasi munculnya konflik horizontal lanjutan. Perang spanduk antar-kelompok itu jadi salah satu pertanda.

Sikap berseberangan antar-warga, bermula pada 2012, awal masuknya PT Semen Indonesia di Rembang. Dan kian kentara pada 2014, dimana warga penolak mendirikan tenda di pintu masuk pabrik, pelbagai aksi protes dilakonkan, mulai dari balai desa, kantor Gubernur Jawa Tengah, hingga pengadilan.

Dan seteru ini dirasakan Murtini, warga Desa Timbrangan, yang tiga tahun belakangan menolak tambang. Imbas dari pilihannya menuai hasil, ia dilaporkan ke polisi.

“Masak pabrik semen mau memberi (sembako) terus? Memberi kan sekali dua kali, kalau sampai anak cucuku apa ya pabrik mau ngasih terus? Lhak ya enggak. Kami petani di sini itu sudah merasa sejahtera. Semua tidak beli, yang beli hanya garam, micin. Sayuran apa saja tak ada yang beli, menanam semua. Ada cabai, sayuran, jagung. Punya sendiri semua, tidak usah beli,” kata Murtini.

Perkara hukum itu, bermula dari laporan sepupunya atas pemalsuan tanda tangan penolak pabrik semen. Murtini pun mesti bolak-balik ke Polda Jawa Tengah, memenuhi panggilan sebagai terlapor.

“Kerasa banget itu, sampai saya ini kan karena menghimpun tanda tangan (penolakan) itu saya dilaporkan ke Polda Jawa Tengah. Itu sepupu saya sendiri yang melaporkan. (Dia pro?) Dia itu, pas saya meminta tanda tangan itu juga dikasih. Awalnya dia tidak pro, tapi karena sekarang dia sudah bekerja di pabrik, jadi saya dilaporkan,” ujar Murtini, warga Desa Timbrangan.

Urusan lain, dihadapi petani asal Tegaldowo, yaitu Sari (bukan nama sebenernya). Kata dia, buah hatinya kerap dirundung teman sekolah, karena dirinya menolak pabrik semen.

"Kalau sama guru tidak apa-apa, paling sama temen-temennya dirundung: 'Ibumu tolak semen ya?' Lalu dia bilang: 'Mak, aku nggak seneng.' Kan satu kelas hanya anak saya sendiri,” ungkap Sari.

Alhasil, bocah kelas 5 SD itu sering membujuknya agar berhenti menolak pabrik, berhenti aksi, dan berhenti menjaga tenda perjuangan.

Meski begitu, bagi Kepala Desa Tegaldowo, Suntono, semua persoalan tersebut lumrah. Kata dia, gesekan antar-warga hanya terjadi ketika sedang membicarakan pabrik semen. Selebihnya, warga akur-akur saja.

“Nah kalau sudah ada kata-kata pabrik, itu yang kontra memang agak tersinggung hatinya. Tapi kalau komunikasi kemasyarakatan, paseduluran, tidak ada bedanya. Tapi kalau ada kegiatan tahlilan, pengajian itu biasa. Itu kami jadikan panitia bareng-bareng,” tutur Suntono.

Ungkapan serupa dicetuskan juga Suwandi, warga Tegaldowo lainnya.

“Kalau di sini tidak sampai kayak yang diberitakan bahwa Tegaldowo memanas, anu.. anu.. , itu nggak seperti itu. Sebetulnya wajar lah, masak setuju semua atau kontra semua kan ya nggak mungkin. (Pro-kontra) Itu hal yang wajar menurut saya,” tukasnya.

Dia pun menyayangkan penolakan sebagaian warga. Karena baginya, selama ini PT Semen Indonesia mendatangkan banyak faedah di desanya.

“Yang jelas dari orang pro dengan adanya PT Semen Indonesia ini sangat mendukung. Oh ada banyak (CSR-nya), termasuk WC masing-masing warga, rumah (untuk) tak layak huni. Yang jelas warga sudah merasakan. Simpan pinjam warga, pelatihan, sudah sering," papar Suwandi, warga Tegaldowo.

Puncak dari perpecahan ini, tenda penolak semen dirusak dan dibakar. Jumat 10 Februari 2017 lepas Isya, Murtini menyaksikannya langsung.

“Saya sempat menangis, saya itu membatin, kok ya kebangetan, tega banget,” ujar Murtini.

Murtini menyesal tak punya cukup daya untuk mencegah para pembakar. Tenda beratap terpal hasil patungan warga itu pun luluh lantak.

“Diangkat bareng-bareng itu kan nggak kuat, lalu doyong bangunannya. Lalu setelah itu dipenthung, ditimpa batu, diinjak, lalu diseret orang banyak, lalu ditumpuk dengan tenda, terus dibakar,” suara Murtini tercekat.

Tapi, meski tendanya dibakar, dan dirinya dilaporkan, Murtini masih akan terus melawan.

“Sekarang ya meski sudah tidak bisa piket (jaga tenda). Tapi kalau tolak, tetap saja tolak. Ada atau tidak ada tenda, tak ada musala di situ. Awake dulur-dulur iki tetap tolak (pabrik semen),” tutupnya.

Penulis: Nurika Manan/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)

Admin: Sponsored Content
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas