Perjuangan Trias Menyelesaikan Pilgrim
SUDAH banyak buku yang ditulis oleh wartawan senior Trias Kuncahyono, terutama berkaitan dengan Timur Tengah
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- SUDAH banyak buku yang ditulis oleh wartawan senior Trias Kuncahyono, terutama berkaitan dengan Timur Tengah. Buku terakhirnya adalah Pilgrim alias Sang Peziarah.
Buku ini beredar sejak Maret 2017. Tapi Trias bersama penerbit Kompas baru menggelar acara peluncuran Pilgrim pada Sabtu, 13 Mei 2017, bertempat di Gereja St Theresia, Menteng, Jakarta Pusat.
Sedianya ada tiga pengulas buku ini. Satu pengulas batal hadir karena menyertai kunjungan Presiden Joko Widodo ke luar negeri. Dia adalah Zuhairi Misrawi.
Jadi, dua pengulas yang hadir adalah Romo Mudji Sutrisno SJ dan Arswendo Atmowiloto, dengan moderator Tri Agung Kristanto dari Harian Kompas.
Trias mengaku hampir gagal menyelesaikan buku Pilgrim yang dilengkapi dengan foto-foto seputar Yerusalem yang menjadi titik kunci buku ini. Tempat-tempat suci yang jadi lokasi peziarahan berada di seputar Yerusalem.
"Berkat dorongan istri, saya akhirnya bisa menyelesaikan buku ini. Ini buku terlama. Tiga tahun baru selesai," kata Trias.
Trias membutuhkan waktu 10 hari berkunjung ke titik-titik yang menjadi lokasi peziarahannya. Itu pun waktu sekadar untuk konfirmasi atau recek karena segalanya sudah disiapkan jauh-jauh hari.
Itu ditunjang dari kegiatan jurnalistik mengunjungi Yerusalem tiga kali sebelumnya. Ia juga merasa beruntung karena pernah menjadi tamu khusus untuk bicara perdamaian di Israel sehingga bisa bertemu dengan petinggi negara itu. Semua menunjang penulisan Pilgrim yang akan memasuki fase cetakan ketiga.
Pilgrim yang bercerita tentang pilgrimage atau peziarahan bukanlah buku sejarah, meski banyak bercerita soal sejarah. Ini sebuah story telling tentang pengalaman personal di ranah spiritualitas. "Ada napas religius, napas sejarah, dan napas jurnalistik," katanya.
Romo Mudji menilai kuatnya unsur monoteisme dalam kerohanian padang gurun yang keras. Tapi Pilgrim sangat khas karena didekati dan divisualkan secara jurnalistik, sehingga berbeda dengan buku panduan ziarah.
"Bukan tipe peziarah yang berdokumentasi. Sibuk foto sana foto sini, lupa merenung. Bukan pula ziarah arkeologis. Inilah peziarahan kewartawanan," kata Romo Mudji.
Ziarah dalam kamus bahasa diartikan sebagai kunjungan ke tempat yang dianggap suci atau keramat. "Kalau bisa ke Yerusalem bagus. Tapi kehidupan sehari-hari kita juga bisa dijadikan bahan peziarahan. Jadi, kita juga perlu menjadi Pilgrim dalam kehidupan sehari-hari," kata Arswendo. (SIGIT SETIONO)