Tak Punya Mata Pencaharian Lain, Warga Tolak Penutupan Tambang Karst Pangkalan
Kegiatan penambangan terancam ditutup sejak karst Pangkalan ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).
TRIBUNNEWS.COM - Tambang batu kapur (karst) Pangkalan, Karawang, telah menjadi sumber penghidupan warga setempat sejak puluhan tahun. Tapi, kegiatan penambangan terancam ditutup sejak karst Pangkalan ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).
Terlebih, rusaknya karst akibat penambangan dituding menjadi penyebab banjir bandang di Karawang pada 2014 silam.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Baret sedang menikmati jeda istirahatnya. Di sebuah warung makan sederhana, ia melahap pisang goreng.
Dari jarak 100 meter tempat makan ini, terhampar deret bukit batu kapur yang penuh geroak. Di situlah, Baret bersama puluhan pria dewasa lainnya bekerja. Menambang batu gamping untuk dijadikan bahan baku semen.
Lokasi bukit kapur ini berada di Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang. Sementara penambangnya mayoritas berasal dari Desa Taman Sari. Dari tambang rakyat inilah, mereka menggantungkan hidup selama berpuluh tahun.
"Saya hari ini berangkat ke sini jam 9, biasa di sono, nampolin batu aja, habis nampolin, ada mobil, ya dimuat, ya syukur, nggak dimuat ya, nungguin aja dulu. Saya baru dapat Rp 40 ribu. Ya nyampailah (pendapatan) kita 150 (ribu/hari), kalau benar-benar itu mobilnya banyak, ordernya banyak, tergantung order juga. Alhamdulillah ada galian batu kapur manual, masyarakat di sini jadi aman, nggak ada pencurian, karena masyarakatnya di sini pada kerja," ungkap Baret.
Penambang seperti Baret, bekerja secara berkelompok. Tiap kelompok pasti punya tungku pembakaran kapur atau disebut lio. Total ada 100 lio di sana.
Tapi, usaha penambangan tersebut tak punya izin alias illegal. Hanya saja, batu kapur dari Pangkalan rupanya sudah menjalar dijual hingga ke Bekasi dan Cilegon.
“Dari sudah lama juga, dari muda sampai sekarang udah punya cucu, makanya dari nenek moyang kita kehidupan warga kita di sini, yang pengalamannya nggak ada, kehidupannya dari batu kapur di sini. Sebelum saya ada juga, mungkin orang-orangtua kita, dulu ya hidupnya dari sini, dari pembakaran-pembakaran kapur," ungkap Baret.
Kecamatan Pangkalan berada di sebelah selatan Karawang dan terletak di daerah Gunung Sanggabuana.
Dari 30 kecamatan yang masuk Kabupaten Karawang, Pangkalan memiliki banyak potensi mulai dari sumberdaya alam sampai wisata alam.
Sumberdaya alam yang paling tenar adalah tambang kapur atau batu gamping yang luasnya mencapai 375 hektar. Maka tak salah, kalau bukit kapur itu sudah ditambang sejak jaman Belanda.
Ketika KBR ke sana, para penambang kebanyakan masih menggunakan peralatan seadanya, seperti linggis dan palu.
Setiap hari, sekira lima truk besar mengangkut batu kapur itu. Baret sendiri, dibayar Rp 150ribu jika bisa memenuhi target lima mobil berukuran kecil.
Hanya saja, ketenangan Baret dan teman-temannya terancam dengan ditetapkannya bukit kapur Pangkalan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2015.
Penetapan itu sesuai Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Nomor 3606 K/40/MEM/2015.
Itu artinya, semua penambangan di area tersebut harus dihentikan. Sebab kawasan karst Pangkalan sebagai ekosistem resapan air alami harus dijaga dan dilindungi.
Jika hal itu terjadi, maka Baret dan penambang lain harus menyingkir. Pria berusia 41 tahun ini pun khawatir bakal kehilangan mata pencahariannya. Sementara ia harus menghidupi istri dan dua anaknya yang masih kecil.
"Desa Taman Sari bisa resah, masyarakat Taman Sari kan, 99 persen kehidupan dari batu kapur. Ya terutama mah, semacam pertambangan manual kalau bisa jangan ditutup, kasihan masyarakat-masyarakat sehari-harinya kerja di batukapur," ujar Baret.
"Makanya kalau lapangan kerja, galian batu kapur manual, dimusnahkan, atau dihilangkan ya semua masyarakat Desa Taman Sari bakal teriak, justru itu kemelutnya, mungkin kalau memang sudah kelaparan, sangkut paut sama perut, gimana lagi," tambah Baret.
Desakan menutup tambang di Pangkalan datang dari Koalisi Melawan Tambang (KMT). Koalisi menilai kawasan karst sebagai penyerap dan penyimpan air bakal rusak, kalau dibiarkan digerus.
Dan dampaknya sudah dirasakan masyarakat Karawang kala banjir bandang melanda tahun 2014 silam. Juru Bicara KMT, Yuda Febrian Silitonga mengatakan, bukit kapur tak mampu menahan tumpahan air hujan.
“Banjir tahun 2014 itu jadi mimpi buruk bagi masyarakat, dari 30 kecamatan Karawang itu, 29 terkena dampak bencana banjir, yang terparah itu Karawang Utara, yang sampai atap rumah air itu. Citarum memang ujungnya di Karawang Utara. Di Karawang hilir saja, kantor pemerintahan Karawang itu terkena banjir juga, rumah dinas bupati pun terkena banjir, walaupun ketinggiannya tak sebesar di Karawang Utara, cuma yang pasti sempat mati semua perekonomian, jalan-jalan itu tergenang air di Karawang, di Karawang Tengah kurang lebih 5 hari, kalau di Karawang Utara itu bisa seminggu. Jadi memang besar banget, sampai Presiden SBY datang ke Karawang, dan menjadi darurat bencana juga di kabupaten Karawang,” terang Yuda.
Setidaknya dua kali upaya penutupan dilakukan. Terakhir pada awal tahun ini. Tapi Baret dan warga Desa Taman Sari melawan. Mereka takut menganggur apabila tambang ditutup lantaran tidak punya ijazah untuk mencari pekerjaan lain.
“Justru ada kendalanya kalau lokasi galian-galian batu kapur itu tutup, baru ada kendala, teriak semua, dikarenakan sehari-hari buat anak istrinya dari mana? Kalau bukan dari sini. Apalagi pendidikan kurang, ijazah nggak punya, ke PT nggak masuk, kemana lagi? Selain dari ke batu kapur. Saya cuma sekolah dasar (SD), kan nggak masuk, jangankan SD, sekarang SMP-SMA nggak masuk susah sekarang. Dulu di sini, banyak yang ijazahnya SMP-SMA, ngelamar di PT JSI juga nggak banyak yang masuk,” ungkap Baret.
Sementara itu, Sekretaris Desa Taman Sari, Dedy mengaku tak kuasa menolak tuntutan warga. Pemerintah desa kemudian melobi kecamatan agar penutupan penambangan ditunda. Tapi sampai kapan, tak disebut. Alhasil hingga detik ini, warga tetap diizinkan menambang, dengan syarat tidak boleh menggunakan bahan peledak.
“Pernah kita tutup semua ini, (mereka) datang ke desa, semuanya, masyarakat penambang yang manual, datang ke desa, pak ini, bawa tempat nasi itu, panci, ya menuntut kepada kepala desa supaya manual dijalankan lagi, semua ditutup waktu itu, ada perintah (dari bupati),” ujar Dedy.
“Setelah mungkin sama-sama berjuang, menjelaskan, yang penting kalau secara izin ya nggak ada izin, cuma asalkan intinya secara manual aja ngambilnya. Lurah kepala desa di sini memperjuangkan untuk masyarakatnya yang penting jangan sampai pakai peledak, intinya cuma pakai linggis, palu, berjalan sampai sekarang. Cuma sekarang keteter, lio-lio itu sedikit bahan bakunya,” tambah Dedy.
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Karawang, tengah mempersiapkan kawasan karst Pangkalan menjadi lokasi wisata.
Penulis: Ninik Yuniati/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)