Analisis Pengamat Pasca-Pembubaran Hizbut Tahrir
"Teorinya begitu, di Timur Tengah jelas sekali, pelajaran yang dipetik dari Timur Tengah menghadapi radikalisme, memang selalu begitu."
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS/COM, JAKARTA - Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan ke PTUN untuk menanggapi langkah Kementerian Hukum dan HAM yang sudah secara resmi mencabut status badan hukum organisasi tersebut.
Tapi pengamat menilai pembubaran ini justru akan berdampak pada menguatnya radikalisme di kalangan pendukung HTI.
Pengamat politik Islam dari UIN Sunan Kalijaga, Noorhaidi Hasan, melihat kemungkinan anggota HTI justru terdorong ke kelompok radikal setelah organisasinya dibubarkan.
"Teorinya begitu, di Timur Tengah jelas sekali, pelajaran yang dipetik dari Timur Tengah menghadapi radikalisme, memang selalu begitu. Biasa setelah open tension, mereka tiarap, menyusun kekuatan, nanti kan rezim berganti, lalu dalam situasi politik yang memungkinkan mereka bangun lagi. Nggak pernah benar-benar bisa diatasi. Kita juga kan waktu Orde Baru di-repressed dengan cara itu kan?" kata Noorhaidi.
Menurut Noorhaidi, langkah pemerintah selama ini dalam 'memberikan ruang' sebenarnya justru 'mematikan kelompok-kelompok ini'.
Noorhaidi menyebut contoh Indonesia dalam memberi ruang terhadap Majelis Mujahidin Indonesia. "Dengan munculnya Majelis Mujahidin Indonesia ini, justru ada banyak faksi-faksi jihadis yang bisa dikontrol, didekati, diajak bicara," tambahnya.
Pembubaran atau 'represi', menurut Noorhaidi, akan memberi justifikasi terhadap kerangka aksi yang selama ini dikembangkan oleh organisasi seperti Hizbut Tahrir.
"Misalnya mereka selama ini bilang, kami ini orang-orang yang dimarginalisasi, dizalimi oleh pemerintah yang berkuasa, ketika kemarin ada ruang, sebenarnya teriakan mereka bahwa mereka kelompok yang dizalimi itu tidak begitu relevan, diberi akses kok, kenapa bilang dizalimi.
"Nah sekarang argumen bahwa mereka orang-orang yang dizalimi, orang-orang yang tidak diberi kesempatan oleh negara dalam berpartisipasi dalam ruang publik yang terbuka itu menjadi relevan," kata Noorhaidi.
Masukan sejumlah pihak
Sebagai tindak lanjut dari keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 atau Perppu Ormas, Kementerian Hukum dan HAM sudah secara resmi mencabut status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia sehingga organisasi itu kini dibubarkan.
Surat keputusan pencabutan itu didasarkan pada pasal 80A pada Perppu 2/2017 yang sebelumnya diperkarakan HTI ke Mahkamah Konstitusi.
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Freddy Harris mengatakan pencabutan badan hukum HTI bukan keputusan sepihak, namun keputusan itu diambil berdasarkan fakta, data serta koordinasi sejumlah lembaga negara di sektor politik, hukum, dan keamanan.
"Adanya masukan dari instansi terkait juga menjadi pertimbangan pencabutan SK badan hukum HTI," ujar Harris di Jakarta, seperti dilaporkan wartawan BBC Indonesia, Abraham Utama.
Dakwah diteruskan
Sejak rencana pembubaran disampaikan oleh pemerintah pada Mei lalu, HTI sudah mengajukan penolakan, pertama lewat gugatan ke Mahkamah Konstitusi, dan kini mereka sedang mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan ke PTUN.
"Kita mau mengkaji terlebih dahulu keputusannya seperti apa, kita konsultasikan kepada penasihat hukum HTI, Profesor Yusril (Ihza Mahendra), lalu kita akan menentukan langkah, salah satunya memang menggugat di PTUN, tapi nanti kita lihat ya," ujar juru bicara HTI Ismail Yusanto.
Namun pembubaran secara resmi itu tampaknya tak mempengaruhi kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia di lapangan, setidaknya dalam kegiatan dakwah yang masih terus berjalan.
Ustaz HTI, Felix Siauw, masih mengisi ceramah dalam sebuah pengajian di Bantul, Yogyakarta yang, menurutnya, dihadiri 600 orang.